Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tarkana di Negeri Tanpa Arah

 

Cahunsoedcom/Rijata Fijar Karunia

Zinantara. Sebuah negeri yang dilingkari laut biru tak berujung, namun gelombangnya tak pernah benar-benar tenang. Sejarah menuliskannya sebagai bangsa yang lahir dari kegelisahan, meski kini lebih sering digambarkan sebagai tanah yang riuh dan gamang. Letaknya strategis, penduduknya beragam, tapi akhir-akhir ini lebih banyak orang membicarakan kekacauan yang menggantung di udara daripada keindahan yang sesungguhnya ada.

Di sebuah taman kampus di tepi sungai kumuh, Tarkana duduk diam, ditemani beberapa ekor soang putih yang menjadi ikon sunyi kampus itu. Angin melintas lembut di antara pepohonan yang mulai meranggas, sementara panas matahari menyentuh batu-batu yang diam. Wajah Tarkana memantulkan kebingungan yang lebih dalam dari biasanya. Bahkan namanya sendiri membuatnya canggung. Sebagian orang menyebut Tarkana berarti pemerintahan yang retak, atau kerusakan yang tak terelakkan, meski semua itu hanya desas-desus.

Namun Tarkana merasa, nama itu bukan sekadar bunyi. Ia seperti pertanda, bagian dari takdir yang besar, kacau, dan tak bisa dihindari. Bukan hanya karena arti nama itu, tetapi karena hidup di negeri yang tak lagi bisa dijelaskan dengan logika sederhana.

Sebagai mahasiswa, Tarkana menyandang label agent of change, sebuah gelar yang menuntutnya untuk kritis dan lantang, meski dirinya lebih nyaman hidup dalam alur yang tenang dan sederhana. Namun ketenangan itu mulai retak. Kejanggalan demi kejanggalan muncul seperti kabut yang tak bisa ditepis. Bagi warga Zinantara, absurditas telah menjadi hal biasa: keputusan muncul tanpa arah, kebijakan saling bertabrakan, dan pemimpin seolah hanya bayang-bayang. Setiap pidato terdengar seperti mantra asing, penuh janji namun hampa makna.

Tarkana tak lagi sanggup menutup mata. Pemimpin baru yang sempat dielu-elukan sebagai harapan justru menebar kebingungan. Program kesejahteraan yang tampak mulia ternyata menyimpan labirin kebijakan yang semakin rumit. Semakin ia mencoba memahami, semakin banyak pertanyaan yang mencuat. Mengapa bantuan yang sederhana justru menciptakan kekacauan? Mengapa setiap solusi instan tak pernah disertai penjelasan? Di kampus, gema kebebasan berpikir telah digantikan oleh keheningan. Ruang diskusi yang dulu hidup kini senyap. Kata-kata tertahan, dan kegelisahan tumbuh diam-diam di dada setiap mahasiswa.

Beberapa nyamuk berdengung di sekitar Tarkana, seakan ikut bingung oleh kebingungannya. Tak lama kemudian, dua sahabatnya, Dira dan Riko, muncul. Mereka duduk di bangku kayu tua yang sudah lapuk dimakan waktu. Entah sudah berapa lama bangku itu ada di sana, tak pernah berpindah.

Mereka saling berpandangan, seolah bertanya-tanya apakah mereka perlu memulai percakapan atau membiarkan hening menguasai.

“Ada yang baru, Tar?” tanya Riko. Suaranya lembut tapi mengandung ketegangan.

Tarkana mengangkat bahu, matanya masih terpaku pada sungai. “Semua sama saja. Mungkin lebih ruwet sekarang,” jawabnya tanpa keyakinan.

Dira menunduk, menggenggam buku di tangannya. “Perubahan itu pasti, kan? Tapi kenapa rasanya malah bikin semuanya makin bingung? Semakin banyak kebijakan, semakin banyak pertanyaan yang nggak dijawab.”

Riko tersenyum tipis, nyaris seperti sindiran. “Kadang kita terlalu sibuk menunggu wajah baru yang katanya bawa solusi. Tapi yang datang malah bikin makin banyak tanya. Kayak ada yang disembunyikan.”

Tarkana menoleh pelan ke arah Dira yang tengah merenung. “Dan kita terus bergerak maju, kan,” katanya lirih, lebih seperti pernyataan yang ditujukan pada angin. “Berlari mengejar sesuatu yang nggak jelas, berharap bisa menemukan ketenangan.”

Dira memandangnya. “Atau justru kita cuma berputar di tempat yang sama. Semua cuma riuh tanpa makna. Semua orang ngomong soal perubahan, tapi lupa kalau perubahan itu bukan cuma soal yang terlihat.”

Riko menatap serius. “Benar. Kita sering terjebak dalam gagasan besar, dalam kata-kata yang indah. Tapi lupa bahwa di balik itu semua ada ruang kosong yang belum diisi. Detail-detail yang hilang.”

Angin bertiup lebih kencang, menyapu daun-daun kering di sekitar mereka. Tarkana menatap ke depan. “Mungkin itu yang kita butuhin, ya. Pemahaman yang lebih dalam. Bukan sekadar ikut arus. Tapi gimana kita bisa tahu arah yang benar kalau nggak ada petunjuk jelas?”

Dira menyandarkan kepala di bahu Riko. Tampak lelah. “Mungkin memang nggak ada petunjuk yang jelas, Tar. Mungkin kita cuma harus terus berjalan meski dengan mata tertutup. Berharap kita sampai ke tempat yang lebih baik, entah kapan.”

Tarkana mengangguk, merasakan pedih yang tak bisa diucapkan. “Dan berharap kita nggak tersesat di jalan yang sama berulang kali.”

Hening menyelimuti mereka. Hanya suara angin yang terdengar, membawa riuh dari kejauhan. Tak ada jawaban pasti. Tak ada keputusan. Namun dalam keheningan itu, Tarkana merasakan sesuatu menjernihkan pikirannya. Ia sadar, meski semuanya terasa kabur, mungkin perjalanan itu sendiri lebih penting daripada tujuannya.

“Berjalan saja,” katanya pelan. “Walau kita nggak tahu pasti arahnya. Kadang, berlari mengejar yang nggak pasti bikin kita lebih sadar akan langkah yang kita ambil.”

Dira dan Riko saling berpandangan. Tak ada kata-kata lagi. Hanya perasaan samar yang dipahami tanpa perlu diucapkan. Dan di bawah langit yang mulai kelam, mereka tetap duduk di sana bersama, dalam kebingungan yang entah kapan akan berhenti.

Saat bulan mulai muncul malu-malu di balik awan tipis, Tarkana merasakan ada sesuatu yang mengikat mereka. Lebih dari sekadar kegelisahan. Mungkin, pikirnya, kebingungan itu sendiri adalah bagian dari pencarian.

Ia tersenyum kecil, kosong seperti harapan yang belum sepenuhnya hadir. Di dunia yang terus bergerak, di tengah kebijakan yang saling bertentangan, apakah mereka harus terus menunggu perubahan datang dengan bentuk yang jelas? Ataukah mereka harus mulai mencari makna dalam setiap langkah, meski tanpa arah pasti?

Tarkana menoleh ke Dira dan Riko, melihat mata mereka yang seolah berbicara lebih banyak daripada kata-kata.

“Apa kita akan terus bertahan meski nggak tahu apa yang kita cari?” tanyanya pelan, nyaris tenggelam oleh desiran angin.

Tak ada jawaban. Hanya angin yang membawa suara-suara tak selesai. Dan dalam perdebatan batin itu, Tarkana menyadari satu hal: mungkin bukan tentang menemukan jawaban, tapi tentang belajar bertanya dengan cara yang benar.

Dan ia bertanya-tanya, apakah hidup mereka akan selalu dipenuhi dengan pertanyaan tak terjawab, ataukah suatu saat nanti mereka akan menemukan arti dalam kebingungan itu sendiri.


Penulis: Puspita Ayu Wulandari

Posting Komentar untuk "Tarkana di Negeri Tanpa Arah"