RUU TNI: Reformasi atau Bayangan Orde Baru?
Cahunsoedcom/Roziana Nur Afiqoh
Kebijakan yang disusun tanpa transparansi kembali terjadi. Kali ini, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mempercepat pembahasan Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) Nomor 34 Tahun 2004 dengan cara yang mengundang tanda tanya. Seperti pola yang terus berulang, proses ini dilakukan secara tertutup tanpa melibatkan partisipasi masyarakat, seolah-olah pengawasan publik dianggap sebagai ancaman. Padahal, kebijakan semacam ini tidak hanya berdampak pada institusi militer, tetapi juga berpotensi mempengaruhi tatanan pemerintahan serta kepentingan negara dan masyarakat secara luas.
Pembahasan RUU TNI yang berlangsung pada 14–15 Maret 2025 di Hotel Fairmont Jakarta mendapat penolakan dari berbagai elemen masyarakat. Mengutip laporan Detiknews, rapat tertutup ini dihadiri oleh sejumlah pejabat, termasuk Wakil Menteri Sekretaris Negara Bambang Eko, Sekretaris Jenderal Donny Ermawan, Letnan Jenderal (Letjen) Tri Budi Utomo, serta perwakilan dari Persatuan Purnawirawan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Pepabri). Beberapa poin dalam revisi ini menuai sorotan, terutama Pasal 53 Ayat 1 yang mengatur perpanjangan batas usia pensiun anggota TNI dan Pasal 47 Ayat 2 yang memperluas jabatan di instansi sipil serta kementerian yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif. Ketentuan ini dikhawatirkan menghidupkan kembali konsep Dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Jika ditilik dari sejarah, dominasi militer dalam urusan sipil pernah terjadi pada masa orde baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Pada periode tersebut, ABRI tidak hanya berperan dalam pertahanan dan keamanan negara, tetapi juga memiliki kendali di sektor sosial-politik. Hal ini mengukuhkan peranan ganda ABRI dalam tata kelola negara, yang pada akhirnya menciptakan struktur pemerintahan yang otoriter serta membungkam demokrasi.
Di era pemerintahan Prabowo Subianto, indikasi kembalinya militer ke sektor sipil semakin nyata. Pelibatan militer di luar sektor pertahanan berpotensi mengancam keberlangsungan Aparatur Sipil Negara (ASN). Secara prinsip, keberadaan militer bertujuan untuk menjaga kedaulatan negara dari ancaman, baik dari dalam maupun luar negeri. Dengan legitimasi penggunaan kekerasan, keterlibatan mereka dalam ranah sipil berisiko menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan, menghambat reformasi birokrasi berbasis meritokrasi, serta melemahkan supremasi sipil dalam pemerintahan.
Indonesia bukan satu-satunya negara yang menghadapi ancaman dominasi militer dalam politik. Myanmar, misalnya, memberikan kontrol politik yang besar kepada militer dengan jaminan 25% kursi parlemen tanpa melalui pemilu sejak pembentukan pemerintahan semi-sipil pada 2011. Hal ini secara bertahap mengikis hak-hak sipil dalam politik dan memperkuat pengaruh militer dalam pemerintahan. Menurut laporan yang dipublikasikan oleh Kontras.org, peluang bagi TNI untuk menduduki jabatan publik juga berisiko menciptakan ketidakjelasan hukum (obscuur) dan disharmoni dalam tata kelola pemerintahan. Perbedaan prosedur penegakan kode etik antara TNI dan ASN semakin memperumit mekanisme pertanggungjawaban dan penegakan hukum di sektor sipil.
Alih-alih berfokus pada kesejahteraan anggota TNI dan ASN, pembahasan RUU TNI yang terburu-buru ini justru berpotensi mengalihkan perhatian pemerintah dari permasalahan sosial, ekonomi, dan politik yang lebih mendesak. DPR RI dan pemerintah seharusnya lebih mengedepankan kepentingan masyarakat dengan melibatkan publik dalam proses perumusan kebijakan. Dengan demikian, kebijakan yang dihasilkan akan lebih adil dan responsif terhadap kebutuhan rakyat. Selain itu, langkah progresif perlu diambil untuk mengembalikan fungsi utama militer sebagai penjaga pertahanan negara. Sebagaimana amanat reformasi, TNI harus berperan sebagai alat negara, bukan alat kekuasaan.
Penulis: Khazimatul Karimah
Editor: Anyalla Felisa
apakabar ya sama RUU perampasan aset🤔🤔
BalasHapus