Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Berbagai Persepsi tentang Kekerasan Seksual, Timbulkan Ketidakmaksimalan Penanganan

Cahunsoedcom/Mg-Chitra Dewi, Isnaeni 

Purwokerto, Cahunsoedcom – Kasus kekerasan seksual menjadi salah satu persoalan yang marak ditemukan di Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed). Tidak dapat dipungkiri, meskipun sudah ditangani oleh pihak-pihak yang berwenang, berbagai kasus di lapangan menunjukkan bahwa perlunya peran lebih dari kampus dalam menyelesaikan permasalahan ini. Tetapi, dalam pelaksanaannya, masih terdapat perbedaan persepsi sehingga berbagai upaya yang dilakukan untuk mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual tidak berjalan dengan maksimal. 


Dalam menyelesaikan kasus kekerasan seksual, perlu dilakukan berbagai pencegahan dengan sosialisasi dan bentuk-bentuk pembelajaran lainnya. Namun, dalam pengungkapan dan penyelesaian berbagai kasus kekerasan seksual, beberapa mahasiswa berpendapat bahwa perlunya pelaporan kepada pihak kampus. Tetapi, dalam praktiknya, beberapa mahasiswa enggan melaporkan hal tersebut. 


“Kalau di fakultasku sendiri, akhir-akhir ini mungkin ada, tapi karena tidak di-speak up-kan gitu ya, jadi tidak terlalu, ibaratnya gembor-gembornya itu kayak yang teman-teman dari fakultas lain,” ujar Yofan Herdianto selaku Duta Anti Kekerasan Seksual Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK). 


Nida Aulia, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) menyampaikan bahwa 

seharusnya pihak universitas memiliki sanksi atau peraturan yang lebih tegas dikarenakan memengaruhi tingkat kepercayaan korban kepada pihak universitas. 


“Makanya itu membutuhkan sanksi yang jelas bagi pelaku. Karena walaupun korban sudah menceritakan dan mendapatkan penanganan yang serius dari wadah tersebut, jika pelaku masih ada, tidak menutup kemungkinan korban tetap merasakan trauma dan takut untuk melanjutkan kegiatannya di kampus,” jelasnya. 


Selain itu, beberapa mahasiswa juga menganggap bahwa pelecehan verbal merupakan sebuah candaan, sehingga menjadi sebuah kebiasaan dan dianggap sebagai sesuatu yang sepele. 


“Kalau dengar-dengar, isu-isu kekerasan verbal itu ada, (tapi) karena korbannya pun masih berpikir itu bercanda, padahal kalau bercanda kan tetap saja masuk ke kasus kekerasan seksual seperti catcalling, tapi banyak yang berpikiran bahwa ah korbannya aja nggak apa-apa. Tapi kalau misalnya lama-lama dicontohkan, akan jadi contoh yang kurang baik dan dianggap sepele padahal itu suatu hal yang penting,” jelas Nisrini Hartika, Duta Anti Kekerasan Seksual Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan (Fikes). 


Tidak hanya itu, mahasiswa juga merasa bahwa Unsoed masih kurang tegas dalam menangani berbagai kekerasan seksual yang ada. Hal ini timbul akibat kurangnya transparansi dari pihak kampus terkait penyelesaian kasus yang ada. 


“Kalau menurutku mungkin kayak kurang tegas ya. Dengan menangani kasus Ananta (pelaku kekerasan seksual di Fakultas Hukum) kayak kurang transparan sih,” tutur Fais, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). 


Menanggapi berbagai pendapat dari mahasiswa, Norman Arie Prayogo selaku Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni mengatakan bahwa beberapa kasus kekerasan seksual, salah satunya kasus yang melibatkan mahasiswa Fakultas Hukum (FH), yakni Muhammad Rafi Ananta memang tidak dipublikasikan, sesuai dengan rekomendasi Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). 


“Seperti kasus yang kemarin, Fakultas Hukum. Sudah dikeluarkan SK (Surat Keputusan) DO (Drop Out) oleh Pak Rektor, tapi kan kita tidak mempublikasikan. Jadi, semua yang kita lakukan kita eksekusi tidak kita publikasikan, tapi kita berjalan sesuai rekomendasi PPKS,” jelasnya. 


Norman turut menyampaikan bahwa dalam memberikan sanksi kepada pelaku kekerasan seksual, pihak kampus hanya memberikan sanksi akademik, seperti skors dan DO. 


“Kita hanya bisa memberikan hukuman akademik,” ujarnya. 


Memiliki perbedaan pendapat, Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Fakultas Peternakan (Fapet), yakni Agustinah Setyaningrum mengatakan bahwa nol toleransi yang diterapkan oleh Satgas PPKS merupakan hal yang tidak tepat. Ia berpendapat bahwa sanksi berupa DO seharusnya lebih dipertimbangkan karena akan mematahkan masa depan seseorang, dalam hal ini adalah masa depan pelaku kekerasan seksual. 


“Pernah mendengar PPKS itu nol toleransi? Itu bagus. Itu baik. Tapi menurut saya tidak tepat. Karena bagaimanapun juga kesalahan sebesar apapun mahasiswa, dalam agama pun ada kesempatan taubat yang dimaafkan,” tuturnya. 


Dari berbagai tanggapan yang diberikan oleh warga kampus, terdapat berbagai perbedaan pandangan yang dalam praktiknya akan menghambat terciptanya lingkungan yang bebas dari kekerasan seksual. Berdasarkan hasil survei yang telah dilakukan oleh LPM Solidaritas, 50 dari 125 responden merasa tidak aman dari kekerasan seksual di kampus. Hal itu menunjukkan bahwa komitmen dan kerja sama warga kampus belum maksimal dalam menciptakan lingkungan akademik yang aman. Sehingga, sudah seharusnya pihak kampus melakukan sosialisasi yang lebih merata bagi seluruh civitas academica untuk menyatukan pandangan tentang kekerasan seksual. 


Reporter: Mg-Aida Kholila, Mg-Nabila Oktapiana, Mg-Aika Putri, Mg-Faisa Salsabila, Mg-Fira Safitri, Mg-Beryllian Alzena, Mg-Lindi Astusi, Mg-Kheisya Khoirunnisa

Penulis: Mg-Nabila Oktapiana 

Editor: Hanna Christi 


 

Posting Komentar untuk "Berbagai Persepsi tentang Kekerasan Seksual, Timbulkan Ketidakmaksimalan Penanganan"