Papua, Rasisme, dan Luka yang Membusuk di Tubuh Bangsa Indonesia
Cahunsoedcom/Rijata Fijar |
Sebagai mahasiswa, benarkah kita sudah memahami rasisme? Rasisme menjadi kata yang tidak asing di telinga, khususnya dalam kehidupan bermasyarakat. Di Indonesia, rasisme khususnya terhadap masyarakat Papua atau ras Melanesia tidak kunjung berakhir justru terus berkembang. Rasisme adalah diskriminasi berdasarkan perbedaan biologis dan anggapan adanya kelompok yang lebih superior dibanding yang lain. Fenomena ini juga terjadi di kampus, padahal kampus menjadi tempat bagi kaum terpelajar. Namun, predikat kaum terpelajar sering kali hanya slogan belaka karena tindakan sosialnya terkadang tidak mencerminkan nilai-nilai tersebut. Kampus seharusnya menjadi ruang heterogen yang menyatukan individu dari berbagai latar belakang ras dan etnis melalui pendidikan. Namun, sayangnya masih ada stereotipe negatif terhadap ras Melanesia yang berkembang dalam kerangka berpikir individu maupun kelompok. Hal ini dapat diamati dari adanya tindakan verbal atau nonverbal yang bersifat merendahkan ras Melanesia.
Berbicara mengenai sejarah tanah Papua, lekat kaitannya dengan New York Agreement 1962. Peristiwa ini dapat dikatakan awal dari permasalahan yang hingga saat ini masih dipelihara oleh negara. Kesepakatan yang melibatkan Amerika Serikat, Belanda, dan Indonesia, dengan salah satu tujuannya untuk mengakhiri konflik antara Belanda-Indonesia mengenai status politik dan masa depan rakyat Papua dengan cara referendum yang menerapkan one man, one vote. Akan tetapi, perjanjian tersebut dianggap sebagai tipu daya bagi masyarakat Papua karena tidak benar-benar melibatkan Penduduk Asli Papua. Hal itu terlihat dalam proses Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 yang tidak demokratis dan kontroversial hingga saat ini. Dalam buku Jejak Kekerasan Negara dan Militerisme di Tanah Papua, dijelaskan bahwa pada saat pelaksanaan Pepera 1969, penduduk Papua yang saat itu berjumlah 809.337 orang, tidak semua dilibatkan untuk memilih dan memutuskan, hanya sekitar 1.025 orang yang berhak memilih dan itu pun ditunjuk oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Secara jelas, hal ini tidak mencerminkan representasi suara masyarakat Papua asli karena jumlahnya jauh dari setengah jumlah penduduk. Tentu ini menjadi persoalan mendasar dari proses Pepera yang dianggap tidak sah dan tidak ada legitimasi hukum serta dukungan mayoritas masyarakat Papua untuk bergabung kepada Indonesia.
Ketidakpuasan masyarakat Papua termuat dalam protes dan gugatan dalam 2 aspek utama, yaitu tindak rasisme dan ketidakadilan sehingga memantik terjadinya kekerasan dan kejahatan kemanusian oleh pemerintah Indonesia. Mengutip perkataan dari Pastor Franz Magniz Suseno bahwa “Papua adalah luka yang membusuk di tubuh bangsa Indonesia”. Menurut Lembaga Pengetahuan Indonesia (LIPI) luka membusuk yang ada di dalam Papua di antaranya adalah sejarah dan status politik Papua ke Indonesia, kekerasan negara dan pelanggaran HAM berat, diskriminasi dan marginalisasi Orang Asli Papua di tanah sendiri, dan kegagalan pembangunan seperti pendidikan, kesehatan, dan ekonomi masyarakat Papua.
Adapun stigma yang melekat pada masyarakat Papua, yakni Organisasi Papua Merdeka (OPM) atau Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua. Julukan yang mungkin sengaja dibentuk oleh pemerintah dan memberikan konsekuensi yang besar sehingga masyarakat Papua identik dengan julukan tertinggal, terbelakang, bahkan pemberontak. Stigma tersebut tanpa sadar memberikan berbagai legitimasi bagi pemerintah Indonesia untuk melakukan tindak represif terhadap perjuangan atas hak Orang Asli Papua. Sesuai dengan data yang dicatat oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), terdapat 75 orang luka-luka dan 18 orang tewas pada 64 peristiwa yang dilakukan oleh prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam kurun waktu satu tahun terakhir. Sehingga, sebagai mahasiswa penting untuk menyadari bahwa siklus kekerasan di Papua terjadi secara sistematis.
Penulis: Andhika Bayu
Editor: Hanna Christi
Posting Komentar untuk "Papua, Rasisme, dan Luka yang Membusuk di Tubuh Bangsa Indonesia"