Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

79 Hanyalah Simbolik Semata

Cahunsoedcom/Indah Setiowati

Hari itu, notifikasi di ponsel Rini terus berdering, mengingatkannya pada deadline pekerjaan yang semakin mendesak. Gadis berusia 22 tahun asal Sunda itu menghela napas kesal, lalu meringkuk di atas tempat tidurnya. Matanya teralih pada kalender di atas kabinet. Tanggal merah terpampang jelas di sana. "Hari Kemerdekaan, ya? Ck," gumamnya pelan.

Rini adalah seorang kakak sekaligus tulang punggung keluarga. Kenangan pahit dua tahun lalu, saat Hari Kemerdekaan, kembali menghantuinya. Saat itu, kedua orang tuanya bercerai dan sayangnya, hak asuh jatuh ke tangan ayah mereka yang tak bertanggung jawab. Sejak neneknya meninggal setahun lalu, Rini dan adiknya tinggal berdua di sebuah rumah petakan kumuh di pinggiran Jakarta. Setiap kali tanggal 17 Agustus tiba, Rini selalu merasa terjebak dalam pusaran kenangan yang mencekik. Nafasnya tersengal, dan jantungnya berdegup kencang. Kenangan demi kenangan berputar di benaknya, hingga suara ketukan di pintu membuyarkan lamunannya.

Tok… tok… 

“Kak Rini! Kak… Ade mau main ya! Ada lomba di lapangan!” Seru adiknya dengan semangat dari balik pintu.

Rini menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Ya, ulah balik soré!" (Jangan pulang kesorean!) seru Rini pada adiknya.

Setelah berhasil merapikan pikirannya, Rini bangkit dan mulai membuka satu per satu notifikasi di ponsel dan laptopnya. Pandangannya tiba-tiba terhenti pada sebuah notifikasi berwarna oranye yang ia pin di layar laptop. Seketika, wajahnya memucat. Satu kata yang muncul di benaknya saat menggambarkan Hari Kemerdekaan adalah "mencekik." Proposal beasiswa KIP-K yang ia ajukan kembali ditolak. Ironisnya, temannya yang tergolong berkecukupan dan memiliki orang tua lengkap justru lolos seleksi.

Duh Gusti, kumesti gimana deui?! Masa iya, urang mesti berhenti sakola?” keluhnya dalam hati. “Kemerdekaan naon? Biaya diajar sakitu mahalna? Belum lagi teh biaya sakola si Ade… Ah, pemerintah kolot! Teu adil!” (Duh Tuhan, ini harus gimana lagi?! Masa iya, saya harus berhenti sekolah? Kemerdekaan apanya? Belajar saja begitu mahalnya? Belum lagi biaya sekolah si Ade… Ah, pemerintah tua! Tidak adil!).

Matanya mulai berkaca-kaca, siap tumpah oleh tangis yang dipenuhi kekhawatiran, kemarahan, dan ketakutan yang semakin mencekik. Di tengah pusaran ketidakjelasan ini, ingatannya kembali pada pelajaran di sekolah tentang makna kemerdekaan—bagaimana para pahlawan berjuang dalam pertempuran berdarah demi kebebasan generasi penerus bangsa. Namun, saat melihat kembali kehidupannya yang serba terbatas ini, Rini hanya bisa tersenyum getir. Ia merasa seperti terbelenggu, haknya untuk mendapatkan pendidikan seakan dirampas.

Rini menoleh ke arah jendela yang menghadap ke lapangan, tempat adiknya sedang berlomba balap karung. Sorak-sorai penonton terdengar riuh, meneriakkan nama anak-anak yang tengah berlomba. Namun, sorakan untuk Rana, adiknya, nyaris tak terdengar. Meski begitu, Rana tetap melaju dengan penuh semangat. Saat berbalik di putaran kedua, ia terjatuh, membuat Rini terkesiap. Rana tertinggal cukup jauh dari lawan-lawannya, tetapi tanpa ragu, ia segera bangkit dan berusaha menyusul. Dengan senyum cerah di wajahnya, Rana melompat-lompat meski lututnya berdarah. Ketika akhirnya ia mencapai garis finis sebagai pemenang, teman-temannya segera mengerubungi dengan penuh kekaguman.

Tanpa sadar, Rini ikut tersenyum. Ia menyadari betapa jauh dirinya dari perasaan bebas seperti yang dimiliki oleh anak-anak itu. Ia terlalu terikat dengan tuntutan hidup hingga melupakan bahwa kebebasan yang dia rasakan sekarang adalah hasil dari perjuangan para pahlawan terdahulu demi kemerdekaan bangsa. Rini merenung, membayangkan bagaimana keadaan dirinya dan adiknya jika para pahlawan tidak memperjuangkan kemerdekaan. ‘Setidaknya, bangsaku sudah merdeka, meskipun aku belum benar-benar merasakannya,’ pikir Rini dengan getir.

Rini membuka halaman web baru di laptopnya untuk memulai pekerjaan dengan perasaan yang lebih positif. Ia terus bekerja hingga adzan Dzuhur berkumandang.

Sejenak ia memejamkan mata berusaha melepaskan lelah, tapi tidak dengan benaknya yang enggan berhenti bersuara. Benaknya ramai dengan  rencana untuk mencari beasiswa lain yang memungkinkan dirinya tetap bekerja. Ramai juga dengan bayangan tentang harga kebutuhan yang terus meroket. Di sela-sela gaduhnya pikiran, terlintas kembali senyum bahagia adiknya, Rana, yang baru saja berhasil memenangkan lomba 17-an.

“Ah, benar. Aku harus lebih berjuang demi kemerdekaan kami…. Kuharap itu bisa segera terwujud, sebelum semua harapan hancur,” gumam Rini pelan. Baginya, kemerdekaan adalah ketika hak-hak yang seharusnya didapatkan terpenuhi, dan perasaan bebas dari ketakutan serta kekhawatiran yang seharusnya tidak dialami oleh anak seusianya. Namun sayangnya, jalan menuju makna kemerdekaan itu masih panjang dan penuh liku.

Keesokan harinya, Rini memutuskan untuk mengambil lebih banyak pekerjaan freelance dari rumah, sambil bersiap jika sewaktu-waktu harus berhenti kuliah apabila beasiswa yang ia ajukan kembali gagal. Ia rela melakukan itu demi memastikan adiknya, yang saat ini duduk di kelas 5 SD, dapat terus melanjutkan pendidikannya. Terbayang olehnya, pasti ada banyak orang di luar sana yang mengalami nasib sulit serupa, meskipun bangsa ini telah merdeka. ‘Semoga mereka juga akan mendapatkan kemerdekaan, begitupun aku,’ batinnya.

“Ah..., merdeka katanya.”

Penulis: Wadhhah Afifah 

 

Posting Komentar untuk "79 Hanyalah Simbolik Semata "