Nyanyian Rindu Serumpun Padi
Oleh: Tutus Adi Pambudi*
Perihal
menanam dan tumbuh lalu mati, sejatinya ialah sebuah putaran kata tanpa
akhiran. Namun, mungkin ini tidak berlaku pada ceritaku ini.
Sekotak awan dan
pelangitan yang memerah nampak malu. Reruntuhan bahasa menjelma bulir-bulir
yang berjatuhan dari langit serupa tangis. Gerimis sore ini, bersama debuman
alat berat dan deru knalpot. Mataku masih sayu, atau mungkin memang tak bisa
terbuka sempurna. Entahlah, kini aku tak peduli lagi dengan parasku. Terlebih
lagi bentuk badanku. Toh siapa yang bakal peduli? Tak ada, mungkin tak satupun.
Aku, terus
mengumpat kepada waktu. Waktu yang tak pernah lelah berlarian, di lorong-lorong
sempit pojokan kota hingga ke sawah-sawah dan pos ronda desa. Ah, rupanya waktu
tak pernah merasa dahaga. Malas melihat kanan, kiri atau bahkan menoleh ke
belakang. Dan waktu pun meninggalkan ku dalam sekotak perandaian. Disitulah aku
tinggal. Dengan beberapa Nuri dan boneka yang telah lengkap jubahnya.
Di pelataran kotak aku menonton sebuah opera. Dengan naskah tentang kaki yang
terus berlari, terburu-buru. Berjejalan dalam topeng kera.
Ya, beginilah
duniaku. Negeri di dalam sebuah kotak, yang warnanya makin hari makin pudar
tergerus sisa semen dan material bangunan. Aih, aku sampai lupa memperkenalkan
diri. Maaf tuan dan nyonya yang di belakang. Tunggu, jangan angkat pantat dulu
dari wajah kursi itu. Mesralah, aku minta waktu sebentar. Biarkan aku menyeduh
teh ku.
“Aku adalah sahabat kalian, tuan
dan nyonya bermake-up tebal.” kataku
dari atas panggung sembari menyesap secangkir teh.
“Benarkah?
“Are yousure?
“Yakin benar kau tuan?” semua orang
berebutan bertanya.
“Aih, ternyata memang kalian belum
sadar” jawabku ketus.
Baiklah, akan ku ceritakan sedikit
dongeng tentangku.
Aku, berisi bulir-bulir yang kelak
memberikan arti kedamaian dan kemerdekaan di spasi dalam perutmu. Aku hijau
lalu menguning dan selalu merunduk sewaktu menatap wajah kalian yang makin hari
makin tak tahu malu tuan. Walaupun aku kini tinggal di dalam sebuah kotak,
dengan cahaya seadanya. Di sekitar yang makin hari makin riuh dengan lalu
lalang alat berat danberton-ton semen dan batu bata yang hilir mudik memenuhi
rumahku. Halaman-halaman kosong yang dahulu berjejal kawan karibku kini ludes
sudah di gerus modernitas.
Sepi...
Dibalik tirai muncul sesosok
bayangan.
“Mas, mau kapan kau beli kan Insektisida mas? Anakku nafasnya sudah
sebentar lagi mas.” bisiknya.
“Ah suara itu, Tince.. Kau
dimanaTince?” panggilku ke segala sudut.
Tince, adikku
yang mati sewaktu rahimnya dihabisi satu koloni ulat. Aih, padahal belum masak
benar usia kandungannya. Sialnya Tince, ulat-ulat itu tak tahu waktu. Apalagi
malu, rakus! Ulat yang merong-rong rahimnya, memakan sedikit demi sedikit
janin-janin Tince. Kemudian menuju payudara yang mulai ranum itu. Kasihan
Tince, tak sempat buah hatinya akan berkembang dan tumbuh.
Tetiba ada teriakan lagi dari bawah
ranjang.
“Mas.. Kamu dimana mas? Mas………”
suaranya menyusut dibalik ranjang.
“Jon.. Jooooon… Joni! Aku disini..
Tunggu, jangan pergi dulu!” teriakku kesetanan.
Itu Joni, pemuda
yang beranjak dewasa ini ditemukan tewas dengan mulut berbusa dan mata yang
menganga lebar. Overdosis! Itu diagnosa dari dokter pribadinya. Joni pemuda
dengan banyak bakat yang menjanjikan, harus dihabisi nyawanya oleh bahan kimia
kiriman tangan besar dari luar kotak. Ah, mungkin tangan besar yang di penuhi
bulu itu terlalu banyak mencekoki Joni dengan Pestisida. Bahan kimia yang di gadang-gadang menjadi penyelamat
bangsa ini. Benarkah? Sungguh aku tak percaya jika cairan itu adalah penyelamat
negeriku. Buktinya, kalian lihat Joni. Lihat dia! Ah sial!
Aku mondar-mandir berkeliling, ada
makian dari bawah panggung.
“Sompret! Badut-badut penghisap,
setan alas!” makian bocor dari bawah panggung.
Aku diam,
lidahku kelu. Terbesit wajah kawanku yang bernama Juki. Seorang pemuda yang tak
tamat Sekolah Dasar. Isi kepalanya hanya bangun pagi, mandi, lalu merawat kandungannya
agar bulir-bulir itu besar sempurna dan mengenyangkan kemudian kembali lelap
hingga shubuh memanggil. Tentu saja aku hapal benar kegiatannya, karena
rumahnya tepat berada di ujung hidungku ini. Dan perlu tuan dan nyonya tahu,
Juki mati mengenaskan. Dengan tulang rusuk yang menonjol dan kerongkongan yang
kering. Juki yang masih lugu harus rela mati kelaparan dan dahaga yang sangat
menyiksa. Rumahnya dicabut paksa oleh orang kiriman dari luar kotak. Dan kau
tahu? Joni hanya mendapat ganti rugi sebesar 10% dari harga tanahnya. Kurang
ajar! Umpatan pun tak kan ada habisnya berlarian dari mulut kami menuju
kumis-kumis tebal orang suruhan itu.
Sedap benar ingatan yang selalu ku
rawat tentang kawan-kawanku yang mati satu persatu. Mataku kian layu, kelopaknya
kembali berguguran.
Aku menyandarkan punggungku yang
cukup lelah menopang bulir-bulir yang hampir masak dan memoar tentang tanahku
tadi. Aku kepulkan asap tembakau ke langit-langit, berharap semua turut
menguap. Ah sialan! Kenapa waktu membeberkan rahasia kemajuan zaman yang tak
ramah lingkungan. Jahanam!
Derai bertambah deras, tubuh
telanjangku habis dibalut kain bernama hujan. Aku mencuci tangan dan kenangan
di wastafel, lalu berkaca. Tiba-tiba muncul sepotong lanskap di dalam cermin.
Trotoar ribut, jalanan yang penuh makian!
“Hei, aku lihat! Itu, lihat itu
saudara-saudara. Itu ayah kami, namanya Soewignyo. Dia yang selalu merawat
kami, seorang petani dan terkadang menjadi buruh pabrik genteng.” katakku
kegirangan.
Aku tak ingin gosok gigi kali ini,
aku hanya ingin membebaskan rinduku dengan menatap matanya lekat-lekat. Entah
sudah berapa puluh tahun aku tak pernah melihat ayah lagi. Namun tetiba ada
teriakan dari semua sudut panggung.
“Minggir, bubar! Semuanya bubar!
“Kami membawa surat perintah, bubar
sekarang juga!” teriakan berloncatan memenuhi panggung.
Pentungan dan sepatu boots yang berderet, lalu
umpatan-umpatan provokasi. Semua bertubrukan, berhamburan hingga bingkai
cerminku retak. Ajaibnya, malah ayahku loncat keluar dari cermin.
“Ayah, ayah.. Ini aku yah, Karta
yah..
“Tince, Joni, Juki dan kawan-kawan
lain sudah berpulang yah.” kataku sendu.
“Sebentar nak, tunggu sebentar.
Ayah harus selesaikan sengketa ini, tak bisa dibiarkan berlarut-larut.” Suara
ayah semakin sunyi seiring langkahnya menuju kerumunan.
Tanganku mencoba menggapai-gapai
namun yang kudapat hanyalah sekelumit bayangan ayah.
“Setan kalian semua! Buta kah
kalian? Atau tuli hah?!
“Bukankah sudah jelas ini adalah
tanah kami! Itu batasnya! Lihat pagar setinggi pohon kelapa itu, apa matamu itu
sudah beralih fungsi menjadi burit hah?!” maki seorang bertubuh tegap dengan
loreng di sekujur tubuhnya.
“Bagaimana bisa? Dari nenek moyang
kami pun tanah ini sudah berfungsi sebagai lahan pertanian. Tempat kami
bercocok tanam, tempat anak kami menggantungkan mimpinya! Tidak bisa, ini tanah
kami!” cerocos ayahku tak kalah galaknya.
“Ini tanah Negara, bukan punya
nenek moyang kau!” makiannya mendarat sejurus dengan pentungan dan sepatu yang
berhamburan ke tubuh dan wajah ayahku.
“Mati kau musuh Negara, mati!”
lelaki itu kesetanan.
Panggung penuh darah, genangannya
mencapai tempat parkir. Aku masih menonton sepotong aib tanahku dari dalam
kotakku. Mataku panas, urat ku seakan mengejang.
“Dasar manusia tak tahu diuntung!
Tanah ini tak kan menerima jasadmu kelak!” makiku penuh kesumat.
Lampu sorot mulai padam, tirai panggung
perlahan tertutup. Pianis mengawali tuts
pianonya dengan gerusan Eminor,
kemudian sebuah botol dengan puisi di perutnya muncul dari bawah panggung.
Suaranya lantang.
Nyanyian Rindu
Nyanyian
rindu serumpun padi terhadap aroma tanah selepas di guyur hujan
Nada-nada
yang berisi tentang kebebasan untuk tumbuh dan berkembang
Namun
jangan lupa, tetaplah berguna
Batang
yang segar dan perut yang sekal berisi
Jadi
kebanggaan rakyat di dalam dapur
Wajan,
penggorengan,
piring
serta sendok dan pasangannya,
lalu
wajah-wajah penuh senyum,
dan
terakhir ialah perut yang lapar
Tapi
maaf, itu cerita tentang padi di 3000 tahun yang lalu
Dan
ini kisah padi modern
Yang
lupa dimana rahim dan tanah kelahirannya
Suara
perut keroncongan pun berganti dengan deru alat berat dan bising knalpot
Lalu
wajah-wajah sumringah para petani saat memanen
Berganti
rupa dengan alis yang menyatu dan kumis tebal si pembawa pentungan
Aih,
jika adalah sebuah perandaian
Tolong,
nikmatilah semen dan batu bata ituseperti saat kau mengunyah bulir-bulir nasi
Dan
jangan pernah tanyakan dimana tempat jual benih padi atau sawah yang
berpetak-petak
Mereka
sudah tenang di alamnya
Semoga
damai selalu bersama kalian
Langkah kaki dan wajah murung berkerumun
keluar ruangan, tirai tertutup sempurna.
*)Mahasiswa Pendidikan Bahasa
Inggris
Universitas Muhammadiyah Purwokerto
Posting Komentar untuk "Nyanyian Rindu Serumpun Padi"