Kebhinekaan dalam Pulau Buru Tanah Air Beta
Pemutaran Film Pulau Buru Tanah Air Beta di Aula FISIP Unsoed, Senin (6/6). sumber: dok. panitia |
Purwokerto - Cahunsoed.com, Senin
(6/6), Kehidupan tahanan politik di Pulau Buru pada era orde baru kerap kali
dikonotasikan dengan hal-hal menyeramkan. Namun, pada kenyataannya seperti yang
digambarkan dalam film “Pulau Buru Tanah Air Beta” karya Rahung Nasution,
tergambar jelas para tahanan politik dapat hidup harmonis dengan masyrakat
disana. Seperti yang diungkapkan oleh Sulyana Dadan, Dosen Sosiologi FISIP
Unsoed, sebagai pembicara dalam Diskusi dan Bedah Film “Pulau Buru Tanah Air
Beta” yang diselenggarakan oleh Laboratorium Sosiologi FISIP Unsoed di Aula
FISIP, Senin (6/6) siang.
Menurut Sulyana,
film yang awalnya sempat dicekal di berbagai tempat justru menggambarkan
kehidupan tapol bersama masyarakat asli Pulau Buru. “Justru saya melihat ada solidaritas sosial
antara tapol dengan masyarakat di Pulau Buru,” katanya.
Ia juga mengatakan, dalam menton film
ada tiga hal yang harus diperhatikan oleh penonton, yakni langsung menerima,
negosiasi, langsung menolak mentah-mentah (oposisional). Ia pun mengajak
penonton untuk bernegosiasi dalam menonton film ini, artinya memang film adalah
tempat memproduksi makna tetapi kita bisa melakukan penyaringan untuk mengambil
yang baik dan membuang yang buruk. Terutama mengenai isu PKI yang membuat film
ini dilarang diputar. Film ini hanya menceritakan pengalaman mantan tapol yang
pernah tinggal di Pulau Buru. Menurutnya, ketakutan mengenai komunisme suatu
kewajaran, hal ini dikarenakan sejarah mencoba menaikkan PKI sebagai sesuatu
yang menakutkan. “Mengenai isu PKI, saya tidak melihat unsur PKI yang kental
disini, lagi pula komunis tidak mungkin bangkit hanya gara-gara menonton film,”
katanya.
Pendapat serupa diungkapkan oleh Triwuryaningsih,
Dosen Sosiologi FISIP Unsoed, ia berpendapat sepatutnya wacana mengenai
komunisme ditanggapi dengan kepala dingin. Pemerintah sebaiknya menjembatani
berbagai pihak yang berkaitan dan bisa menjamin hak-hak masyarakatnya.
Peserta sedang diskusi Film Pulau Buru Tanah Air Beta di Aula FISIP Unsoed, Senin (6/6). sumber: dok. panitia |
“Semuanya sepakat bahwa film ini tidak
ada apa-apanya sebenarnya, yang terpenting harus membuka, menanggapi
rekonsilias. Rekonsoliasi harus dilanjutkan dengan konkrit. Seperti Gus Dur
yang melakukan pencabutan TAP MPR sebagai upaya mengembalikan hak-hak tapol dan
berdamai dengan sejarah,” katanya.
Film Pulau Buru Tanah Air Beta
menampilkan kisah dua orang tahanan politik yang pernah dibuang ke sana, yakni
Hersri Setiawan dan Tedjabayu Sudjojono, mereka kembali ke pulau tempat
masa-masa tergelap kehidupan mereka. Hersri kembali ke sana bersama anak
perempuan dan istrinya untuk menunjukkan tempat-tempat saat dia hidup selama
sembilan tahun, sejak 1969 sampai 1978. Dalam beberapa adegan ditampilkan pula
keharmonisan masyarakat Pulau Buru dan tapol yang pernah bergotong-royong
membangun kehidupan disana, seperti sawah, galeri seni, dan rumah, meski
sayangnya kini beberapa banyak yang sudah hilang.
Ahmad Sabiq, Wakil Dekan III FISIP
Unsoed, mengatakan diskusi ini tidak perlu dilarang, apalagi jika dibedah
dengan kajian sosial. “Masyarakat Banyumas sudah cerdas dalam menaggapi isu
yang seperti ini,” katanya.
Menurut salah satu mahasiswa Sosiologi
2014, Sujada Abdul Malik, film ini membuat masyarakat lebih paham dalam melihat
permasalahan di sekitar mereka. “Masyarakat harus melihat konteks kekinian
bahwa hal semacam itu sebenarnya sudah mati, dengan begitu kehidupan masyarakat
seperti di film tersebut justru yang tergambarkan mereka saling bekerjasama,”
katanya. (Alexander Agus Santosa/ MG- Fadhillah Eldo)
Ed: Triana Widyawati
Posting Komentar untuk "Kebhinekaan dalam Pulau Buru Tanah Air Beta"