Berbincang Ganja, Negara dan Absurditasnya
Oleh: Nadia Halim Prasetyaningtyas*
Di era negara modern dengan segala hukum yang
selalu diproduksi, ganja dikonstruksi sebagai barang haram yang merusak.
Meskipun bila menilik ganja secara objektif, tanaman satu ini memiliki riwayat
farmakologis yang panjang. Manuskrip pengobatan herbal kuno selalu
mengidentifikasi ganja sebagai tanaman obat yang luar biasa, terutama sebagai
anti-nyeri dan stimulus syaraf otak biar tenang.
Momok ganja sebagai candu yang merusak tubuh,
yang digulirkan melalui Undang-Undang menjadi representasi model kekuasaan gaya
baru, sebagaimana yang disampaikan oleh Michel Foucault. Bahwa kekuasaan di era
modern telah meninggalkan bentuk primitifnya (sebagai cerita seputar lembaga formal
yang kaku). Bahwa kekuasaan di era modern penuh dengan upaya pembenaran melalui
konstruksi wacana (discourse) yang dianggap sebagai kebenaran oleh masyarakat.
Itulah mengapa kata Foucault ada hubungan antara
kekuasaan dengan pengetahuan. Negara punya kekuasaan membuat undang-undang
tentang narkoba. Meski pasal ganja masih dianggap terlalu dangkal uraiannya,
tetap saja dianggap sebagai kebenaran dan rujukan hukum untuk menjerat para
produsen dan konsumen ganja.
Jika ganja legal, apa yang terjadi? Itulah
pertanyaan mendasar yang akan jadi rumusan masalah dalam artikel ini. Saya
menulisnya karena merasa gelisah, merasa perlu menulis ini. Saya termasuk orang
yang memandang positif ganja untuk diteliti secara serius.
Tidak perlu berbasa-basi, mahasiswa pasti tahu
apa itu ganja, kan? Ganja adalah nama tanaman yang dianggap narkotika karena
bila dikonsumsi memicu euforia. Ganja dikenal pula dengan nama Cannabis atau
Marijuana.
Ganja asal Indonesia terkenal memiliki cita rasa
yang khas, perpaduan timur dan barat. Ganja lekat dengan kultur masyarakat
tempo dulu, karena dijadikan kudapan sehari-hari sebagai sayuran, serta kerap
disajikan pada acara-acara kerajaan sebagai hidangan istimewa bagi tamu.
Mengapa ganja istimewa di masa lalu? Karena bisa
memicu perasaan bahagia bagi yang mengonsumsi. Mengapa ganja istimewa bagi
sebagian masyarakat era sekarang? Alasannya masih sama, karena bisa memicu
perasaan bahagia
Jika rakyat bisa bahagia karena ganja. Mengapa negara justru melabeli ganja
dengan julukan narkotika? Tentu saja karena negara punya kepentingan memerangi
narkoba. Negara sedang mencoba menerapkan aturan hidup bagi rakyatnya.
Ganja dianggap musuh karena membuat rakyat lupa
diri, lengah, dan cenderung malas. Maunya senang-senang saja. Bayangkan bila
seluruh pemuda bangsa Indonesia hobi menyulut ganja? Bisa-bisa Indonesia
menjadi "Kelab Malam", isinya orang-orang ketawa, dengan pikiran
kosong, imajinasi nyeleneh, dan sambil jalan pincang sempoyongan. Sampai-sampai
diperangi negara lain secara militer malah anggap bom atom sebagai teriakan
vokalis band metal kelas dunia.
Ya... Itu intermezzo saja... Memang benar kok,
menjadi pecandu narkoba itu tidak bakal bisa hidup normal. Saya sendiri punya
kenalan yang sudah langganan keluar masuk penjara gara-gara narkoba. Dia hidupnya jarang menapak realitas, seringnya
euforia di padang rumput imajiner, bagai mayat hidup. Tapi ya efek zombie itu
tidak jelas dari narkoba jenis apa, ganja atau
bukan, soalnya dia punya riwayat kasus yang kompleks, tidak hanya ganja.
Nah…! Persoalan efek ganja inilah yang sudah
beberapa tahun belakangan menuai kontroversi. Apakah ganja benar-benar memicu
candu? Dan lambat-laun merusak mental serta fisik manusia? Jika demikian,
mengapa popularitas ganja sebagai obat herbal sudah terjadi sejak zaman
peradaban kuno? Dan mengapa ganja sering dipakai sebagai simbol kreativitas
dalam bermusik? Mengapa ganja yang dimitoskan merusak itu, di sisi lain
dianggap sebagai makanan surga?
Adalah Lingkar Ganja Nusantara (LGN), sebuah
organisasi yang mendukung legalisasi ganja untuk bidang farmasi. Mereka
bersikukuh mengembalikan ganja pada
kodratnya sebagai tanaman obat. Mereka tidak terima ganja yang sangat
berkhasiat, lenyap begitu saja dari muka bumi karena labelling narkotika, tanpa
proses penelitian ilmiah mendalam, namun hanya pembenaran yang terburu-buru.
Ketika menanam dan menyimpan ganja dilarang
negara dan diancam penjara, maka sudah dapat dibayangkan susahnya melakukan
riset ganja. Oleh karena itu LGN gencar melakukan kampanye agar pemerintah
mendukung riset ganja dengan memberikan ijin. Tentu saja kampanye itu pada
akhirnya membuahkan hasil, LGN berhak meneliti ganja dengan dukungan dari
Kementerian Kesehatan.
Isu legalisasi ganja untuk bidang farmasi bukan
hanya menjadi isu nasional, melainkan sebenarnya adalah isu internasional yang
merembes ke skala nasional. Berbagai trik dilontarkan untuk membentuk common
sense bahwa pada dosis penggunaan tertentu ganja tidaklah buruk. Ganja
didengung-dengungkan pula sebagai obat kanker. Bila ganja terbukti mengobati
kanker, konon harga jual obatnya tidak akan semahal obat sintetis yang selangit
karena permainan mekanisme pasar.
Jika sudah begini, sebenarnya siapa yang benar?
Ganja itu baik atau buruk? Ganja itu racun atau obat? Inilah tantangan IPTEK.
Inilah tantangan para mahasiswa dan sarjana farmasi. Inilah tantangan ilmuwan
biologi, agroteknologi, kedokteran. Mereka harus mampu menganalisis, memetakan,
menguraikan dengan ilmiah kandungan
zat dan dosis pemakaian ganja.
Jika sudah dibuat laporan ilmiahnya, tentu saja
negara tidak boleh terus-menerus "ngeyel melabel buruk ganja". Tapi
dalam benak saya, bila kitab ganja hasil penelitian ilmiah itu telah hadir,
belum tentu pemerintah akan mau membuat regulasi dalam produksi dan
distribusinya. Biaya sistem informasinya pasti mahal. Biaya pengawasannya
mahal. Belum lagi kemungkinan teror Marijuana Culture, melegalkan dalam bidang
farmasi, malah merembes ke budaya populer. Itu bisa saja terjadi karena negara
dan masyarakat Indonesia belum siap menerima sisi positifnya ganja.
Sungguh persoalan ganja ini sangat absurd.
Tanaman ini terlanjur dijadikan diskursus nihilisme fatalis yang kental dengan
oposisi biner, baik dan buruk. Terlalu rumit pengelolaannya bila sampai
dilegalkan. Banyak bentrok kepentingan pula. Bila negara mengambil-alih hak
tenurial atas ladang ganja, maka black market ganja akan mati gaya. Bila negara
memproduksi obat dari ganja, lawannya jelas industri obat-obatan yang telah
dipatenkan.
Ini sungguh sangat rumit. Padahal baru satu
tanaman bernama ganja. Padahal jika menilik ke alam planet bumi ini, ada begitu
banyak tanaman lain yang mengandung zat halusinogen. Mahasiswa Unsoed mungkin
perlu sesekali mengamati taman depan UPT Perpustakaan pusat. Dekat
undak-undakkan tangga ada tanaman yang belum dicap narkotika tapi efeknya
serupa.
Saya pernah dengar di daerah Piasa, Banyumas,
para pekerja tambang pasir menggunakan bunga, buah, atau daun dari tanaman ini
sebagai obat kuat. Saya tidak perlu menyebut nama tanaman ini, karena takut
dikira memprovokasi. Yang jelas mabuk tanaman ini sebagaimana mabuk ganja,
lekat dengan kultur masyarakat. Malah menurut saya, tanaman berbunga cantik ini
terkesan lebih keras efeknya, membuat orang menjadi skizofrenia berhari-hari.
*Mahasiswa Ilmu Politik Unsoed 2012
Posting Komentar untuk "Berbincang Ganja, Negara dan Absurditasnya"