Rumah Itu
Oleh: Nadia Halim*
Source: Donarsketch.wordpress.com |
Rumah itu
terletak di tepian tanah perkebunan seluas dua belas hektar. Dari kejauhan,
rumah itu seperti berada di ujung tanduk karena terletak di bibir bukit. Di
sisi kanan rumah ada jendela besar dan teras kecil yang menghadap ke lembah.
Usai bekerja aku biasanya duduk-duduk di sana menikmati secangkir clebek dan
panorama sungai jernih penuh bebatuan besar yang meliuk-liuk mengikuti kontur
lembah.
Udara segar
mengepung wajahku. Jika aku tak mengedipkan mata untuk waktu yang lama, bulu
mataku akan basah terkena kabut dingin. Dan jika terlalu lama duduk melamun di
sini, aku lupa tentang siapa diriku. Jadi aku
bersikap sewajarnya saja. Jika cangkirku telah kosong, maka aku
beranjak, melakukan apa saja yang bisa kulakukan, meski pekerjaanku di hari itu
sudah selesai.
Aku biasanya
memilih berjalan ke kebun jeruk. Oleh karena hari sudah senja, para pekerja
kebun sudah pulang ke rumah masing-masing. Di sana aku berdiri sendirian,
mengamati dedaunan dan ranting yang berserak. Aku selalu menemukan satu atau
dua jeruk tergeletak di tanah. Namun biasanya mentah atau busuk. Kadang-kadang
aku menemukan buah yang masih bagus, namun begitu kumakan ternyata asam.
Aku tidak
berharap para pekerja akan menyisakan satu atau dua jeruk bagus dan enak di sini. Tidak ada
alasan untuk mereka sengaja menyisakan, karena besok pagi mereka yang akan kembali
memungut dan memasukkan ke keranjang buah. Sebab tidak ada satu orang pun
jalan-jalan melintasi kebun, apalagi melihat-lihat, seperti yang kulakukan.
Usai melihat-lihat kebun jeruk, aku berjalan
ke tenggara. Di sana kutemui seorang gadis pemetik bunga bersama Ibunya. Mereka
adalah Salini dan Bu Rodiyah. Mereka tersenyum dan menganggukkan kepala padaku.
Kemudian Salini menghampiriku seraya menyodorkan Snakeroot, seonggok bunga
rumput yang mengandung racun ternak.
Sewaktu aku
kecil, bunga ini sering dipegang anak-anak gadis yang sedang bermain dodolan. Dengan imajinasi tinggi, mereka
menganggap bunga ini sebagai bawang putih dan bawang merah. Sebab, warna
bunganya memang ada dua: putih dan merah.
Aku tidak
kesal Salini memberiku Snakeroot karena senyumnya menyiratkan bahwa ia tidak
menganggapku binatang ternak. Atau aku yang terlalu optimis dan berpikiran
positif. Senyum lebar Salini bisa saja topeng. Gigi gingsul yang menyembul
manis bersama dekik di pipinya bisa saja topeng. Maksudku, mungkin saja Salini
menganggapku binatang ternak. Ia berharap aku yang sebatang kara sedang
kelaparan, mendadak bodoh memakan bunga rumput ini, kemudian mati
kejang-kejang.
“Untukku?”
Begitulah kata yang pertama kali terucap tiap Salini menyodorkan bunga.
“Iya, bapak!”
Ujarnya, masih mempertahankan senyum.
Seketika aku
sadar sesuatu. Salini ternyata masih kanak-kanak. Ia gadis remaja awal umur
belasan tahun. Dan aku, walau belum
menikah dan punya anak, tetaplah laki-laki dewasa berumur, yang ke-bapak-an
secara fisik.
Aku sekarang
paham mengapa Bu Rodiyah meski tersenyum dan terkesan hormat padaku, wajahnya
menyimpan kegetiran. Ia tidak suka anak gadisnya berbicara dengan lelaki sepuh
sepertiku. Ia kecewa, anak gadisnya memberikan bunga padaku, padahal hanya Snakeroot,
si bunga rumput yang baunya tak sedap dan mengandung racun ternak.
* * *
Rumah itu
milik majikanku. Mereka sepasang suami-istri. Mereka telah meninggal tanpa
surat wasiat, namun mereka memiliki satu anak laki-laki yang otomatis memiliki
hak waris. Harta mereka melimpah, tapi tidak ada satu pun orang yang datang
mengklaim diri sebagai anggota keluarga Tuan Birawa dan Nyonya Sadhara. Selama
belasan tahun, semenjak mereka meninggal, tidak ada cerita tentang perebutan
warisan.
Anak
laki-laki mereka kini telah beranjak remaja tanpa sosok Ayah dan Ibu. Ia
sejak balita dirawat oleh mendiang Romo
dan Simbok, pembantu di rumah itu. Ceritanya panjang, dan aku malas
menceritakannya karena Romo dan Simbokku sudah meninggal juga. Jadi lebih baik
kuceritakan tentang diriku dan anak laki-laki itu saja. Lagipula aku tidak
banyak tahu bagaimana kehidupan keluarga di rumah itu. Karena sebelum tuan dan
nyonya majikan meninggal, aku masih terombang-ambing di laut, bekerja di kapal
pesiar Jar Franco.
Ia bernama
Atilarsyah. Sungguh nama yang aneh. Artinya raja yang tidak pernah mati. Ia
memiliki perawakan kurus, namun wajahnya sangat rupawan bak pangeran. Ia kini
berumur 14 tahun. Ia memiliki kenangan yang begitu lama dan kuat bersama orang
tuaku. Ia menganggap orang tuaku adalah orang tuanya. Dan baginya, kami adalah
kaki-beradik.
Padahal aku
sudah menceritakan kebenaran, bahwa orang tuanya telah meninggal. Ia tampak
sedih namun segera tersenyum lagi dan berkata, “apa Kakak tidak mau berbagi Ayah
dan Ibu pada anak yatim-piatu, ini?” Aku pun menjawab, “aku sekarang juga anak
yatim-piatu. Tidak ada yang bisa kubagi denganmu.”
“Kalau
begitu, mulai sekarang kita jadi saudara yang rukun! Kita jaga rumah ini,
peninggalan orang tua kita.” Ucapnya seraya memegang pundakku.
“Baiklah… Tapi
tidak akan lama Dik! Aku juga punya kehidupan sendiri. Toh kamu
sudah besar,
bisa menjaga rumah ini, dan mengurus perkebunan! Aku sudah minta tolong Pak
Karmin untuk membuka lowongan pekerjaan sebagai asisten pribadimu.”
“Jadi, kabar
tentang Kakak akan pergi, benar?”
‘Iya.” Kataku
sembari melepas tangannya dari pundakku.
“Kenapa?”
“Apa tidak
bisa kau jadikan aku budak saja! Aku tidak kuat Dik, berada di sini,
terus-menerus dicibir orang. Dikira mereka, aku akan membunuhmu dan merebut
harta Tuan Birawa dan Nyonya Sadhara.”
“Siapa yang
mengatakan? Biar kupecat saja dia, bicara lancang!”
Aku tertegun
mendengar perkataan Atil. Pada tiap diksi yang keluar dari bibirnya, serta raut
wajahnya menyiratkan masa lalu. Mengingatkanku pada lamunanku di sore hari
tentang bagaimana watak mendiang tuan dan nyonya majikan. Romo dan Simbok
memang bungkam soal mereka, tapi setiap lekuk benda di rumah itu seakan-akan
menyimpan energi mereka: energi watak mereka yang begitu absurd. Aku suka
berimajinasi tentang mereka.
Aku kembali
menatap wajah Atil. Kuberkata lagi dengan lebih lembut “tidak bisakah kau
melepasku saja? Aku pikir kau sudah cukup mampu untuk berdiri sendiri! Lagipula
banyak sekali pelindungmu di sini. Ratusan orang. Mereka loyal padamu dan
berani mati untukmu.”
“Tidak! Bukan
soal itu, Kakak akan tinggal di mana? Bagaimana Kakak makan?”
“Aku bukan
makhluk yang hanya dengan diberi makan bisa hidup. Lagipula tanpa hadirku di
sini, segalanya tetap berjalan.” Sembari dongkol aku mengatakan ini. Sudah enam
tahun aku menahan gejolak kebebasanku.
* * *
Aku berpikir
sejarah sedang mengulangi dirinya. Bocah
ini adalah tuan yang tak mau dianggap tuan. Sama seperti mendiang bapaknya.
Tapi aku takut ia bertingkah melampaui batas. Jangan sampai hanya karena
membelaku, ia memecat mereka yang mencibirku. Bukankah ini tidak adil?
Meski sejarah sedang mengulangi dirinya. Tak
pantaslah seorang raja yang tidak dapat mati, mendadak mati secara misterius. Maksudku
aku tak ingin Atilarsyah bernasib sama dengan orang tuanya: mendadak mati. Aku
curiga jangan-jangan dulu hanya karena membela Romo dan Simbok, Tuan dan Nyonya
jadi memecat pekerja kebun.
Akhirnya
mereka meninggal, mungkin setelah minum jus jeruk yang mengandung racun. Ah,
tapi tidak mungkin. Pikiranku ini tampaknya hanya mengada-ngada karena terlalu
banyak membaca berita tentang kasus kematian pejuang HAM.
Lagipula pada
setiap peperangan besar, tidak boleh panglima perang menghentikan langkah
rombongan prajuritnya hanya karena seorang prajurit tertinggal di belakang. Aku
mendengar cerita ini dari seorang musafir asal Madinah yang kutemui di Jar
Franco. Ia bercerita tentang perang antara timur dengan barat, di mana ada
seorang prajurit tertinggal di belakang karena kudanya kelelahan.
“Panglima, si
anu tertinggal di belakang?” tanya beberapa prajurit pada panglima.
“Mengapa
demikian?” Panglima perang bertanya.
“Kudanya
kelelahan. Haruskah kita jemput dia?” Prajurit bertanya lagi.
“Tidak usah. Kalau
memang dia bertekad kuat turut serta dalam peperangan ini, dia akan mampu
mengejar kita walau tanpa kuda.”
* * *
Namun sebenarnya
ada yang mengganjal di hatiku. Aku tidak tahu mengapa aku bisa bertahan begitu
lama di rumah itu. Dalam hari-hari pemberontakanku pada Atil, ketika ingin
minta pergi. Rasanya kakiku justru semakin lengket memijak rumah itu.
Aku merasakan
naluri yang tidak pernah kurasakan. Tanggung jawab dan kasih sayang pada sosok
sebatang kara yang kebetulan terlahir sebagai raja.
Apa hatiku
sudah beku dalam merasakan kekangan? Apa aku bukan lagi pemuja kebebasan? Aku
masih belum memahaminya.
Yang jelas,
rumah itu selalu menjadi misteri bagiku. Sebongkah rumah bernuansa kayu yang
berdiri megah dan kokoh di bibir bukit. Yang di sekitarnya ada lembah luas nan
asri. Yang dekat dengannya adalah jurang kesunyian, di mana aku biasa berdiri dan
berteriak mempertanyakan takdir kehidupan: apa peranku?
PROFIL PENULIS
Saya adalah
mahasiswi Ilmu Politik Unsoed, angkatan 2012. Saya lahir di Banyumas, 21 tahun
yang lalu. Cerpen “Rumah Itu” saya dedikasikan untuk dosen saya: Ibu T.A, yang
pernah menanyakan: Nadia suka nulis, ya? Saya memang suka menulis, tapi
butuh waktu lama untuk berdamai dengan tulisan sendiri.
Cerpen ini
ditulis hampir dua tahun yang lalu. Namun hanya mengendap di komputer, editing
terakhir pada 21 Oktober 2015. Hari ini, 22 April 2016, bertepatan dengan
perayaan Hari Bumi, akhirnya saya bisa berdamai dengan tulisan ini. Semoga bisa
menjadi bahan kontemplasi…! Saya pun masih berkontemplasi terhadap naskah ini,
karena ada sesuatu di dalamnya.
Posting Komentar untuk "Rumah Itu"