OPINI: Membongkar Perda Banyumas Tentang Penyakit Masyarakat
Membongkar Perda Banyumas Tentang
Penyakit Masyarakat
Oleh :
Adhi
Bangkit Saputra*
Kesejahteraan
merupakan tanggung jawab pemerintah kepada seluruh rakyat Indonesia. Namun
hingga saat ini, persoalan kemiskinan masih menghantui rakyat Indonesia di
berbagai daerah bahkan di Banyumas. Semua itu akibat dari minimnya lapangan
kerja dan minimnyaakses mendapat pendidikan. Sehingga berbagai upaya terpaksa
dilakukan rakyat Banyumas untuk bertahan hidup, mulai dari mengemis, mengamen,
bahkan menjadi orang jalanan dan terlantar. Padahal dalam Pasal34 ayat (1) UUD
1945 telah tertulis “Fakir miskin dan
anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”.
Namun
ditengah himpitan ekonomi Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas justru
mengeluarkan Perda Kabupaten Banyumas Nomor 16 Tahun 2015 Tentang
Penanggulangan Penyakit Masyarakat. Bahkan di lampu merah, perempatan jalan dan
tempat ramai lainnya telah ditancapkan plang-plang yang berbunyi : “Setiap orang/lembaga/badan hukum yang
memberi uang dan atau barang dalam bentuk apapun kepada pengemis, gelandangan,
pengamen, orang terlantar dan anak jalanan di tempat umum diancam pidana
kurungan paling lama 3 bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,-“. Perda dan plang-plang tersebut jelas mencekik kehidupan
orang jalanan. Padahal aktivitas mengamen dan mengemis adalah upaya bertahan
hidup ditengah kemiskinan.
Beberapa
Kecacatan Dalam Perda No. 16/2015
Perda No. 16/2015 Tentang
Penanggulangan Penyakit Masyarakat tidak sepenuhnya benar secara hukum. Hal itu
dapat dilihat ketika membacanya.[1]
Beberapa kecacatan yang ditemukan antara lain beberapa Pasaltidak diketahui
keberadaannya. Sebagai contoh tidak ditemukannya Pasal 10 dan Pasal 31, jadi
dari Pasal 9 langsung melompat ke Pasal 11 dan dari Pasal 30 langsung lompat ke
Pasal 32. Lalu dalam Pasal 32 yang terdiri dari 5 ayat, namun setelah dilihat
tidak ada ayat 4, jadi dari ayat 3 langsung ke ayat 5.
Kecatatan Perda No. 16/2015 tidak
berhenti sampai disitu. Selanjutnya dalam bagian konsideran (dasar hukum
‘mengingat’) angka 11 mencantumkan produk hukum Keputusan Presiden diatas Peraturan
Presiden, padahal jika melihat secara hirarkis(jenjang) Peraturan
perundang-undangan[2] seharusnya Peraturan
Presiden di letakkan diatas Keputusan Presiden. Selain itu Pasal 34 ayat (1)
UUD 1945 tidak dicantumkan sebagai dasar hukum mengingat, padahal mestinya
dicantumkan karena perda No. 16/2015 sangat berkaitan dengan Pasal tersebut, karena
sama-sama mengatur fakir miskin dan anak terlantar.
Suatu Undang-undang atau Perda haruslah
dibuat dengan teliti dan rapih, karenamempunyai dampak luas untuk masyarakat.
Tentunya ini merupakan hal aneh ketika ditemukan beberapa kecacatan seperti
telah disebut di atas. Padahal yang membuat perda adalah anggota DPRD dan
Bupati Banyumas (yang katanya orang pintar). Hal ini tidak bisa
dibiarkan terus-menerus, karena akan merugikan masyarakat Banyumas.
Persoalan lain tentang Perda 16/2015
adalah munculnya plang disudut-sudut
jalan Banyumas yang menyebutkan sebuah hukuman apabila dilakukan kegiatan
seperti mengamen atau mengemis. Namun setelah dlihat dalam Perda 16/2015 yang
cacat secara hukum, maka adanya plang tersebut sebagai bagian pelaksanaan perda
adalah cacat juga secara hukum dan mestinya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Lalu jelaslah selain itu, larangan serta sanksi tidak dapat dilaksanakan.
Didasari pada semua alasan yang
disebutkan diatas maka Perda 16/2015 tidak benar dan cacat hukum. Apabila suatu
undang-undang atau Perda tidak dibuat dengan baik dan rapih, bahkan
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang kedudukannya lebih tinggi
maka Perdatersebut dapat dibatalkan. Perda 16/2015 sudah dapat dilihat memiliki
kecacatan atau tidak baik, maka perda tersebut harus dicabut karena dapat menimbulkan
kerugiaan bagi masyarakat.
Pelanggaran
Terhadap Hak-hak Dasar Rakyat Karena Keluarnya Perda No. 16/2015
Pada kenyataannya Perda 16/2015 tentang
Penanggulangan Penyakit Masyarakat memang merugikan hak rakyat miskin di Banyumas, padahal Pasal
34 ayat (1) UUD 1945secara tegas menyatakan kewajiban Negara untuk memberi
jaminan kesejahteraan bagi seluruh warga negara (khususnya fakir miskin dan
anak terlantar). Akan tetapi Pemda Banyumas justru menganggap masyarakat lemah
dan miskin sebagai ‘Penyakit’. Seharusnya Pemda Banyumas memperlakukan
masyarakat miskin dengan martabat kemanusiaan, apalagi Pancasila juga
menyebutkan “kemanusiaan yang adil dan beradab” dalam sila kedua serta keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam sila kelima.
Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 juga secara tegas
menyatakan “Setiap orang berhak bebas dari
perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. Dalam hal
ini Pemda Banyumas telah nyata melakukan tindakan diskriminatif terhadap
pengemis, pengamen, orang terlantar dan yang lainnya sebagai ‘Penyakit Masyarakat.’
Menjadi pengemis, pengamen, gelandangan dan lain-lain tentunya bukan kemauan
setiap orang melainkan akibat kondisi yang memaksa. Di satu sisi pemerintah
sebenarnya telah melanggar hak-hak dasar masyarakat, karena melepas tanggung
jawabnya untuk memberikan lapangan kerja dan penghidupan yang layak bagi setiap
rakyat dengan mengeluarkan Perda No. 16/2015. Walaupun dalam Perda itu juga
diatur tentang penanggulangan dengan berbagai bentuk, namun tetap yang
digaungkan oleh Pemda Banyumas hanya sanksi-sanksi (lihat plang-plang dijalan).
Selain itu, Pasal 28C ayat (1) UUD 1945juga
menyatakan “Setiap orang berhak
mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat
pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan
budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”. Namun selama ini negara dalam hal ini Pemda Banyumas
tidak hadir memberikan jaminan sosial kepada masyarakat, keluarnya Perda
16/2015 adalah bukti konkrit nya.Aktivitas mengamen, mengemis, dan lainnya
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang mendesak. Namun Pemda Banyumas
justru melarang dan tidak memberi jalan keluar yang tepat. Tentu ini merupakan
tindakan yang tidak masuk akal dan bertentangan dengan konstitusi serta hak-hak
asasi manusia.
Jalan keluar dari permasalahan Perda No.
16/2015
Melihat semua penjelasan diatas banyak
sekali permasalahan yang ada didalam Perda No. 16/2015, dari kecacatannya
secara hukum sampai pelanggaran terhadap hak-hak dasar rakyat miskin di Banyumas.
Ada beberapa alternative jalan keluar dari persoalan ini, antara lain lewat judicial review/uji materiil Perda ke
Mahkamah Agung RI untuk dibatalkan,[3]
ataupun executive review/pembatalan
Perda oleh Gubernur Jawa Tengah sebagai Pemerintah yang berada di atas
Kabupaten,[4]
atau dengan cara Bupati bersama dengan DPRD membahas Perda 16/2015 untuk
dicabut.
Namun
yang tak kalah penting adalah bagaimana masyarakat luas dari berbagai elemen
turut sertamenanggulangi persoalan kemiskinan dan ‘penyakit masyarakat’karena
hubungan antara kaum miskin dengan masyarakat luas lainnya bukanlah hal yang
tidak berkaitan samasekali. Sebab adanya kemiskinan merupakan hal yang bersifat
meluas. Ketika kita bersama-sama menuntut adanya tanggung jawab dari pemerintah
daerah untuk mengentas kemiskinan dengan cara yang tepat (tidak dengan cara tambal-sulam seperti mengeluarkan perda
ini) maka masyarakat luas juga akan terkena dampak baiknya.
Sebagai contoh
ketika pendidikan bisa diakses oleh semua kalangan maka jumlah orang-orang yang
‘dianggap’ penyakit masyarakat juga akan berkurang karena pendidikan yang baik
akan merombak dan mengarah kepada cara hidup yang baik juga.Sejalan dengan itu,
jika lapangan pekerjaan menjadi tanggungjawab Negara (Pemerintah daerah) untuk
menyediakannya bagi seluruh masyarakat, maka pekerjaan yang dianggap ‘penyakit
masyarakat’ juga terkikis. Lebih lagi, dengan adanya akses pendidikan dan
lapangan kerja serta upah yang layak maka bukan saja kaum miskin yang mendapat
dampak positif, tapi setiap lapisan masyarakat juga niscaya mendapat
faedahnya.
[1] Karena minimnya transparasi di Pemerintahan Kabupaten Banyumas, maka
untuk mendapat perda nya harus langsung ke bagian hukum pemerintah kabupaten,
tidak bisa mengunduh via internet karena memang tidak di publikasikan.
[2]Lihat
Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan
perundang-undangan menyebutkan secara berurutan dan berjenjang : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan
Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
[3] Berdasar Pasal 24A ayat (1) UUD 1945
jo. Pasal 9 ayat (2)
UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan MA
berwenang menguji Peraturan Perundang-undangan di
bawah Undang-Undang (termasuk Perda) apabila diduga bertentangan dengan
Undang-Undang.
[4]Berdasar
Pasal 251 ayat (2) UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah menyebutkan jika suatu Perda Kabupaten/Kotabertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau
kesusilaan dapat dibatalkan oleh gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat.
*) Mahasiswa Angkatan 2012, Fakultas Hukum Unsoed
Posting Komentar untuk "OPINI: Membongkar Perda Banyumas Tentang Penyakit Masyarakat"