Cita-cita, Milik Siapa?
Oleh: Erlina
Fury Santika*
Source: Bhinnekaceria.com |
Pernyataan tersebut harusnya menjadi renungan untuk
kita semua, khususnya pemerintah. Apakah orang yang bisa menggapai cita-citanya
hanya mereka yang kaya dan dengan mudahnya mengakses pendidikan? Apakah dengan
mahalnya pendidikan menjadi salah satu faktor pengubur impian anak-anak yang
sudah mereka buat sejak lama? sungguh menyedihkan, sekolah yang menjadi sarana
untuk menggapai impian ternyata kurang bisa dirasakan kehadirannya oleh masyarakat
di negerinya sendiri. Sekolah sebagai sarana pembentuk karakter anak dan dan
dengan harapan akan menjadi ‘seseorang’ di tempat lain, tak sedikit yang masih
belum bisa merasakannya karna hambatan ekonomi. Tak berhenti sampai disitu, nasib
yang berada di daerah terpencil atau pedesaan akses untuk memperoleh pendidikan
pun hampir tidak diperhatikan oleh pemerintah.
Perkara ini diantaranya masih banyak disebabkan karena
kebijakan pemerintah yang masih bermasalah, sehingga masih banyaknya pekerjaan
rumah yang harus dibenahi. Dana pendidikan, misalnya. Untuk alokasi dana sektor
pendidikan memang masih terbilang sangat kecil. Kalau didanai 20% dari APBN,
seharusnya sektor pendidikan mendapat anggaran sebesar Rp 80 triliun dari total
APBN sebesar RP 300 triliun. Namun pada kenyataannya, sektor pendidikan hanya
mendapat Rp 13,6 triliun atau hanya sekitar 4% dari APBN. Bahkan dengan
berbagai alasan, alokasi 20% ini akan dicicil dan pada tahun 2009 baru terealisir. Padahal dalam amandemen
UUD 45 pasal 31 ayat 2 ditetapkan bahwa kewajiban pemerintah untuk membiayai
pendidikan dasar yang wajib tiap warga negara dan pasal 31 ayat 4 diterangkan
bahwa kewajiban bagi pemerintah dan DPR memprioritaskan anggaran pendidikan
minimal 20% dari anggaran APBN dan APBD.
Jika ternyata ditemukan bahwa pemerintah ‘mencicil’ anggaran tersebut, maka
secara tak langsung pemerintah sudah menciderai salah satu pasal dalam UUD ‘45.
Padahal dalam ketentuan ini, jika dilihat pada ketentuan UUD ‘45, sudah jelas
tercantum bahwa pendidikan dari tingkat dasar hingga SMP, gratis dalam artian
tidak dipungut bayaran sedikitpun. Karena hal itu memang sudah menjadi tugas
dan tanggung jawab pemerintah. Tetapi realitanya selain dipungut bayaran juga
ketentuan pembayaran itu seenaknya ditetapkan oleh pihak sekolah, bukan diatur
UU. Ketidakjelasan inilah yang membuat pendidikan negeri tak terarah seperti
saat ini.
‘Pekerjaan rumah’ pemerintah tak hanya sampai disitu.
Seperti yang saya sebutkan di awal, nasib yang berada di daerah terpencil atau
pedesaan mengalami kesulitan untuk mengakses, memperoleh pendidikan ternyata masih
belum mampu untuk mengundang perhatian pemerintah. Di beberapa daerah
terpencil, sekolah menjadi tempat yang sangat berharga karena tempat ini jarang
sekali ditemukan. Minimnya jumlah sekolah dan jarak yang jauh membuat masyarakat
di daerah terpencil itu harus berjuang untuk memperoleh secercah ilmu untuk
masa depan. Sebagai contoh, sekolah di
Dusun Siwarak, Kecamatan Sumpiuh, Banyumas. Sekolah di dusun tersebut hanya ada
satu dan itu hanya cukup untuk sekolah dasar. Jarak rumah yang jauh dan jalanan
yang terjal membuat mereka—para penyala harapan bangsa—datang terlambat ke
sekolah dan hal itu sudah menjadi hal yang lazim. Bukannya lazim menolerir
kesalahan, tetapi memang dapat dilihat jarak dari rumah ke sekolah yang mereka
tempuh dengan berjalan kaki jaraknya bisa mencapai lebih dari 3 kilometer
dengan medan yang terjal. Coba kalau kita bandingkan dengan yang di kota, akses
menuju sekolah sangatlah mudah. Adanya kendaraan seperti angkutan umum bahkan
ada bis sekolah. Perbandingan ini menimbulkan pertanyaan: apakah sekolah memang
diciptakan untuk mereka yang berada di perkotaan?
Beginilah wajah pendidikan di Indonesia. Masih banyak
permasalahan yang perlu dibenahi. Apabila seluruh masyarakat Indonesia sudah
bisa dan dengan mudahnya mampu mengakses pendidikan, maka pernyataan Ibu
Surtini tentang “Cita-cita hanya untuk
orang kaya” tak mungkin keluar dari ucapannya begitu saja. Karena
sesungguhnya cita-cita tak pernah memandang siapapun dan berhak dimiliki oleh
setiap insan yang hidup di dunia.
*) Mahasiswa Ilmu Komunikasi Unsoed, Angkatan 2012
Posting Komentar untuk "Cita-cita, Milik Siapa?"