Maafkan Bapak, Anakku
Oleh: Khaerunisa*
Source: Google.com |
Hujan
deras mengguyur Kota
Purwokerto dari pagi
tadi, keramaian kota berkurang, tak banyak orang yang hilir mudik di trotoar,
hanya kendaraan bermotor yang tetap meramaikan jalanan kota ditambah dengan
warna-warni jas hujan para pengendara motor. Namun para pedagang di alun-alun
kota tetap setia menunggu para pembelinya, diantara para pedagang itu ada Pak Karjo penjual es dawet yang sudah 30 tahun
berjualan di Alun-alun Kota Purwokerto. Hanya ada
beberapa pasangan muda-mudi yang mengisi alun-alun kota, dan kebanyakan meneduh
di masjid sebelah barat alun-alun, semua pedagang mengeluhkan hujan itu, dari
pagi hanya berhenti sebentar lalu hujan lagi dan terus begitu menyebabkan
pendapatan mereka menurun drastis, tapi yang nampak tak berkomentar hanya Pak Karjo, padahal
sebenarnya penjual es seperti dia-lah yang paling rugi, bagaimana tidak? Siapa
juga yang ingin minum es di hawa yang sangat dingin seperti ini.
Bunyi bedug
masjid sudah terdengar, dan disusul dengan adzan maghrib. Beberapa pedagang
mulai meninggalkan alun-alun, diantaranya pak karjo, digantikan dengan pedagang
jagung bakar, kopi dan lainnya.
“Bagaimana le?
Apa kau sudah dapat kerjaan?” tanya pak karjo pada putranya yang sedang
mendorong gerobak.
“Belum pak,” jawabnya singkat.
“Bagaimana dengan kerja di tempat agus teman SMP-mu itu?”
“Harus punya motor
sendiri, dan SIM,”
jawabannya dengan nada putus asa.
“Lalu
tawaran tetangga kita kerja di Jakarta
bagaimana.”
“Apa bapak punya uang
untuk bekalku ke Jakarta?
Tidak kan?”
“Nanti jika bapak sudah
ada uang akan bapak berikan untuk kau ke Jakarta,
berdoa saja le, sambil kau cari kerjaan disini, tukang parkir di pasar, juga
lumayan kan dari pada kau menganggur,”
jawab Pak Karjo membesarkan hati
putra-nya.
“Ya, dan mungkin jika
bapak sudah punya uang,lowongan itu sudah terisi” jawabnya sambil meletakan
gerobak di dekat rumah dan berlalu meninggalkan Pak Karjo.
“Sudah pulang pak?” tanya
istri Pak Karjo.
“Sudah bu.”
“Bagaimana? Banyak
pembeli pak?”
“Tidak bu, sepi, cuaca
juga seperti ini, siapa si yang mau minum es?”
“Ya sudah pak, bapak
mandi dulu, ibu siapkan makan dan teh, tapi tidak pake gula pak, gula-nya
habis, tidak ada uang buat beli.”
“Ya sudah, teh pahit juga
syukur bu,”
jawab Pak Karjo sambil membawa
handuk lalu pergi ke kamar mandi.
~~~
“Assalamu’alaikum bu..”
“Kok malam ri pulangnya?
Memang habis apa?”
“Habis belajar sama
temen-temen bu, kan sebentar lagi ujian nasional. Bu... lapar, hehe..”
“Ya sudah makan dulu,
nanti habis makan baru mandi lalu istirahat.”
“Ya bu, bapak sudah
pulang?”
“Sudah, lagi mandi.”
Muri pergi ke
dapur dan melahap makanan yang sudah Ibu
Rinah siapkan, walaupun
makanan sederhana Muri
sangat menikmatinya. Memang Muri
anak yang tekun, anak ke-2 dari Pak
karjo dan istrinya Bu
Rinah. Dia bersekolah di
salah satu SMA swasta di Purwokerto,
dia lebih beruntung dari kakaknya, dia mendapat beasiswa karena kepandaiannya,
dia tidak pernah keluar dari 3 besar dan dulu nilai ujian nasional smpnya
sangat bagus sehingga membuat dia mendapatkan beasiswa dari sekolah SMA-nya sekarang.
Namun
sayangnya Mamad,
kakak laki-lakinya tak seberuntung dia, dulu saat menjelang kelulusan SMP, Pak Karjo mengalami
kecelakaan, dia ditabrak sebuah mobil bak terbuka saat akan berjualan es dawet,
kakinya patah dan harus diamputasi, memang si penabrak membiayai operasi Pak Karjo, tapi uang itu tak
cukup untuk membeli obat-obat lain, akhirnya uang tabungan yang akan digunakan
untuk Mamad mendaftar STM
terpaksa dipakai, dan Mamad
tak bisa mengenyam bangku sekolah atas, dia hanya lulus SMP, kepandaiannya pun
rata-rata tak memenuhi persyaratan beasiswa manapun, itulah yang menyebabkan
mamad lontang-lantung sekarang tak kunjung mendapat pekerjaan, walaupun ada
lowongan berijasah minimal SMP
tapi persaingan antara pelamar dan lowongan kerja sangat timpang, terlebih
banyak orang berijasah SMA
juga ikut mendaftar, dan banyak hal lain yang selalu membuat Mamad tak kunjung
mendapatkan pekerjaan, hanya terkadang apabila pasar ramai atau ada tontonan,
dia ikut menjadi tukang parkir.
Sebenarnya dia
orang yang tak suka membangakang orang tua, dia dulu termasuk anak yang
berbakti, tapi lelahnya mungkin membuat dia putus asa. Seperti malam ini..
“Kak? Sudah dapat kerja?”
tanya Muri yang sedang belajar
di ruang tengah.
“Kenapa kau tanya-tanya?
Menyindir maksudmu?” jawab Mamad
yang sedang tidur di karpet depan televisi.
“Ah bukan begitu maksudku
kak, aku sungguh-sungguh bertanya, kenapa kakak jadi tersinggung?”
“Memangnya kalau aku
tersinggung kenapa? Dasar anak sok pintar, apa karna pendidikanmu lebih tinggi
dariku kau seenaknya padaku?”
“Lha? Kenapa kakak jadi
bawa-bawa pendidikan, memangnya pertanyaanku ada yang salah? Bukankah aku tanya
baik-baik tanpa bermaksud menyindir?”
“Berisik kau, tak usah
bicara lagi, aku muak setiap kali mendengar kau bicara!”
“Apa maksud kakak? Kakak
membenciku? Iya begitu?”
“Kalian sedang apa?!
Mamad! Hentikan perkataanmu! Kenapa kau ini? Kenapa kau jadi marah-marah tidak
jelas le?” ibu yang sedang membuat dagangan untuk besok keluar dari dapur.
“Terus saja bu bela anak
ibu yang sok pintar ini.. terus saja berlaku tidak adil!”
“Tidak adil? Tidak adil
bagaimana le?” kata Pak
Karjo.
“Apa bapak tau selama ini
aku tersiksa karna tak punya pendidikan tinggi? Aku hanya lulus SMP, aku selalu dihina
oleh orang-orang karna terus jadi pengangguran, sementara Muri? Dia sekolah SMA pak! bapak dan ibu tidak
adil, selama ini Mamad
sabar bu, tapi harus sampai kapan Mamad
sabar dengan hinaan orang? Teman-teman seumuran Mamad sudah bekerja dan menikah,
sementara Mamad?
Selalu ditolak kerja, mana ada perempuan yang mau sama pengangguran seperti Mamad!”
“Astaghfirullohhaladzim
le..le.. nyebut le.. jangan begitu, mungkin belum rejeki, jangan pula kau
lampiaskan kemarahanmu pada adikmu. Lagipula bukankan adikmu juga tak bapak
biayai, dia bisa sekolah karna dapat beasiswa, bahkan dari SMP bapak dan ibu sudah
tak membiayai sekolahnya,”
kata Bu Rinah dengan mata
berkaca-kaca.
“Kenapa Mamad susah sekali
mendapatkan apa yang Mamad
inginkan pak, bu.. sementara di depan mamad, muri selalu di mudahkan dengan
semua keinginannya walau dalam keterbatasan seperti ini? Muri selalu mendapat
keberuntungan sementara Mamad?
hanya hal kecil saja Mamad
kesulitan untuk mendapatkannya. Apa salah mamad pak, bu..”
“Astaghfirulloh le..
jangan begitu, kita harus
bersyukur, setiap orang punya rejeki masing-masing, mungkin belum rejekimu. Di
luar sana banyak yang nasibnya lebih buruk dari kita.”
“Ah bapak tidak
mengerti!”
“Tidak mengerti
bagaimana? Bukankah kau diberi kesempurnaan fisik, harusnya kau bersyukur,
lihat bapak, bapak cacat le, tapi bapak tidak putus asa, kau harusnya lebih
bersyukur,”
jawab Pak Karjo membuat hening
seisi rumah.
“Tapi berbeda pak! Jaman
sekarang motor hampir menjadi hal wajib dalam bekerja!”
“Jadi pada intinya kau
menuntut bapakmu untuk membelikanmu motor?” jawab ibu.
“Toh jika aku minta disekolahkan
sudah terlambat kan bu?!”
Muri tak bisa
menahan air matanya mendengar pertengkaran keluarganya, terlebih dia merasa
menjadi salah satu sumber ke-iri-an kakaknya, dia lari ke kamarnya meninggalkan
pertengkaran itu, Ibu
Rinah dan Pak Karjo diam tak tau harus
berkata apa, Mamad
pun pergi meninggalkan rumah.
****
Keesokan harinya
Pak Karjo pergi berdagang
seperti biasa, namun raut mukanya menggambarkan kesedihan yang mendalam, hari
ini dia tak dibantu Mamad
untuk membawa gerobak, tetangganya yang kebetulan menjadi tukang parkir di
alun-alun berbaik hati membawakan gerobak Pak
Karjo.
“Kenapa Pak Karjo? Kelihatannya kok
sedih.”
“Ah tidak papa mas, hanya
kurang tidur,”
Pak Karjo memaksakan
senyumnya.”
Kurang lebih 15
menit mereka sampai di alun-alun.
“Terima kasih Mas Sarto, sudah bantu bawa
gerobak saya.”
“Ah iya sama-sama pak,” jawab Sarto lalu meninggalkan Pak Karjo.
Hari ini pembeli
lumayan banyak, tak seperti kemarin.
“Dawetnnya 5 bungkus pak,” ucap salah satu
pembeli.
“Ini pak dawetnya,” jawab Pak Karjo selang beberapa
menit.
“berapa pak?”
“20.000 pak.”
Lalu pembeli
mengeluarkan dompetnya, dompet yang tebal dengan banyak uang ratusan ribu, ada sesuatu
terbesit dalam pikiran Pak
Karjo, pikiran yang
sebenarnya bertolak belakang dengan hati nuraninya. Si pembeli membayar, lalu
berbalik, di belakangnya ada anak kecil putra pembeli itu, dia setengah jongkok
untuk menggendong putranya yang masih kecil itu, seketika dompetnya separuh
keluar dari sakunya, dan entah mengapa tangan pak karjo bergerak mengambil
dompet itu dari saku pembelinya. Pembeli itu berlalu.
~~~
Beberapa jam
kemudian pembeli itu kembali untuk mencari dompetnya setelah menyadari dia
kehilangan dompetnya.
“Pak liat ada dompet jatuh
disini tidak?” tanyanya pada Pak
Karjo.
“Tidak,” jawab Pak Karjo dengan nada gugup
membuat si pembeli curiga.
Si pembeli
terdiam sejenak mengedarkan pandangan matanya, pandangannya terhenti pada laci
tempat plastik untuk dawet di sebelah atas gerobak, dia melihat sesuatu yang
aneh, akhirnya dia memeriksa laci itu, dan betapa kagetnya dia ada dompetnya
tergeletak disitu, dia bergegas menghubungi
polisi.
Beberapa saat
kemudian Pak
Karjo berada di kantor
polisi, dia tertunduk bingung. Kabar Pak
Karjo di tangkap polisi
terdengar oleh Bu
Rinah, Bu Rinah pingsan, Muri bingung harus
melakukan apa, segera dia mencari kakaknya yang dari semalaman tak pulang,
akhirnya Mamad
dan Muri tiba di kantor
polisi, mereka berdiri terpaku di pintu ruang penyelidikan memandang ayah
mereka yang terduduk di kursi dihadapan petugas introgasi, lutut Mamad terasa lemas
melihat ayahnya, ia menyadari ayahnya melakukan hal ini karna pertengkaran tadi
malam, karna dia yang menuntut pada ayahnya, dia membuat ayahnya ikut berputus
asa atas dirinya dan mengambil jalan pintas, dan sekarang Mamad hanya bisa
menyesalinya di ruangan itu, terdiam tak bersuara, tak tau harus melakukan apa.
Dia berdiri terpaku disebelah adiknya, Muri,
yang hanya bisa menangis sesenggukan.
****
*) Mahasiswi Ilmu Komunikasi FISIP Unsoed, Angkatan 2013.
Posting Komentar untuk "Maafkan Bapak, Anakku"