Iman dan Kesetiaan
Oleh : Ryan Rickyanto*
Saya
awali tulisan ini dengan pernyataan; iman[1]
adalah puncak sebuah keyakinan yang mengantarkan manusia pada laku, tindakan
atau praksis yang akan diambilnya sebagai sebuah kebenaran. Namun satu yang
harus ditegaskan disini, iman yang dimaksud bukanlah menyinggung perkara agama.
Karena sangat jelas, bukan porsinya bagi saya untuk memaparkan hal tersebut. Selanjutnya,
marilah sejenak memahami sebentar apa yang akan saya utarakan dalam catatan
singkat ini.
Adalah
perkara yang besar dan tabu bagi sebagian orang jika membicarakan iman
(mungkin). Atau (mungkin) bisa jadi malah hal yang remeh-temeh. Pertanyaan pun
muncul, dari mana datangnya iman? Saya membaginya menjadi 3 arah kedatangan. Pertama, ia datang melalui khutbah-khutbah
yang ditularkan pada pendengar sehingga diamini sebagai kebenaran dan diimani
sebagai keniscayaan. Kedua, ia datang
dari literasi yang menawarkan beragam pilihan iman yang siap dipilih oleh
pembaca. Ketiga, ia datang dari hasil
refleksi atas pembacaan literasi maupun realitas yang terjadi.
universe-in-a-pipe by faithpopcorn |
Jika
jeli melihatnya, ketiganya juga bukan hal yang terpisah. Dalam artian, ketiganya
dapat dikatakan sebagai sebuah runutan perjalanan pemantapan iman, lebih jelas
lagi proses. Seorang yang sebelumnya telah memiliki iman dikuatkan lagi dengan segudang
argumentasi orang lain yang ia terima, kemudian ia melakukan pembacaan literasi
dan proses refleksi diri atas pembacaan literasi dan realitas sehingga ia
matang dengan iman yang ada.
Namun
hal yang tidak dapat dihindarkan adalah kemungkinan dalam perjalanan tersebut
iman akan bergerak dan terus bergerak. Kemungkinannya adalah iman semakin
mantap atau malah iman menjadi goyah. Keduanya adalah konsekuensi dari
berjalannya proses pemantapan iman.
Permasalahannya
adalah jika pemantapan iman hanya sebatas pada penerimaan argumentasi dari
orang lain yang dirasa cukup menjadikan iman mantap tak tergoyahkan. Ini tidak
beda rupanya dengan fatwa atau khotbah agama yang ditularkan para ulama atau
pendeta kepada penganut agamanya. Tidak dapat ditawar dan diganggu-gugat. Tidak
ada proses koreksi yang dilakukan oleh diri sendiri untuk mencurigai iman yang
diberi.
Juga
akan jadi masalah jika pemantapan iman berlangsung hanya sampai pada perolehan
dari pembacaan literasi. Hasil pembacaan literasi sebagai sebuah tambahan
pemantapan iman dan diamini sebagai kebenaran yang final, hal yang terjadi
demikian juga tidak dapat dibenarkan. Ketakutannya adalah hal ini menjadi
sebuah benteng. Benteng yang akan melindungi seseorang ketika merasa
keimanannya terancam. Ini pula yang disebut Goenawan Mohamad sebagai Involusi
Tekstual. Involusi Tekstual adalah (1) menggunakan seperangkat teks sebagai
satu-satunya sumber kebenaran, (2) menjelaskan ‘kebenaran’ teks itu dengan mengambil
teks-teks lain yang sebenarnya mendapatkan kekuatan dari teks awal itu, dan (3)
menentukan lebih dahulu teks-teks mana yang boleh dibaca dan tidak untuk
memahami teks sumber tadi.[2]
Pada
titik ini, saya bukan ingin meremehkan hasil karya yang dapat mendukung
pemantapan iman, yang tentunya dihasilkan oleh tokoh-tokoh hebat dan diakui
secara luas intelektualitasnya. Namun kiranya harus ada proses refleksi dari
setiap pembacaan teks-teks literasi. Tuntutan keras untuk kritis dalam menemui setiap
hal juga menambah dorongan agar tidak saja mengamini langsung setiap teks yang
dibaca tapi butuh proses koreksi dan refleksi atas setiap pembacaan teks dan
mengkontekstualisasikan teks tersebut sesuai dengan ruang dan waktu yang
berlaku.
Terang
sudah apa yang saya yakini mengenai iman. Iman yang benar (iman yang tak semu)
adalah ketika iman telah mengalami serangkaian koreksi dan refleksi. Ujian untuk
iman ialah mengalami refleksi dan koreksi dari pemilik iman. Iman yang tak
sesuai akan gugur dan yang bertahan tentunya akan digunakan sebagai pedoman
dalam bertindak.
Lalu,
apa benar iman yang tak semu akan terus digunakan sebagai dasar dari segala
tindakan, laku atau praksis seseorang? Jawabnya adalah iya. Hal ini jelas
karena iman telah melalui serangkaian koreksi dan refleksi. Iman yang tak semu
telah membaca kondisi yang ada dan terbiasa dengannya. Iman juga dapat menjadi
jawaban atas permasalahan yang akan dijawab oleh seseorang melalui tindakannya
sebagai wujud dari manifestasi iman.
Seperti
kisah mengenai Abu Dzar Al Ghifari yang diasingkan ke daerah Rabzah hingga mati
karena mengkritik penguasa. Juga sama halnya dengan Galileo Galilei yang
dihukum mati oleh pihak gereja karena teori heliosentris yang dahulu gereja
tidak dapat menerima. Mereka adalah orang-orang yang memegang teguh iman yang
diyakini. Iman seperti pernyataan awal saya sebelumnya, adalah puncak sebuah
keyakinan yang mengantarkan manusia pada laku, tindakan atau praksis yang akan
diambilnya sebagai sebuah kebenaran. Oleh karenanya, perbuatan atau tindakan
seseorang akan mencerminkan iman yang ia yakini. Jika antara iman dan perbuatan
tidak sejalan, maka bisa jadi iman yang diyakini adalah semu. Iman akan selalu
dipegang teguh dan dijadikan pedoman dalam bertindak bagi seseorang yang
meyakini iman. Iman akan menghapuskan rasa ketakutan dari setiap tindakan yang
akan dilakukan.
[1] Yang dimaksud penulis sebagai
iman adalah keyakinan untuk bertindak atau dapat dikatakan ideologi (walaupun
hal ini dapat diperdebatkan lagi). Dapat juga dikatakan sebagai perspektif yang
segala nilai-nilainya diamini dan tertanam mendarah-daging sehingga setiap tingkah
lakunya didasari dan mencerminkan apa yang ia imani.
[2]Goenawan Mohamad, “Tentang
Kritik, Metode dan Emansipasi: Emansipasi, Ngelmu Kuwi…,” Indoprogress II (2012): 26.
*) Mahasiswa Ilmu Politik FISIP Unsoed, Angkatan 2011.
*) Mahasiswa Ilmu Politik FISIP Unsoed, Angkatan 2011.
Sayangnya Galileo tidak pernah dihukum mati oleh Gereja.
BalasHapus