Bukan April MOP, inilah POM
Sejak 2005 inilah
POM tidak lagi melibatkan mahasiswa, jangan heran jika penarikan yang dajukan
kepada para Orang tua mahasiswa sampai mencekik leher. RAB yang dirancang
terlihat elitis ditingkatan Fakultas
Oleh : Aulia El Hakim
April 1989. Sering kali dibulan ini dihiasi
oleh tingkah-tingkah muda-mudi untuk sekedar jahil dengan 'April MOP' kepada sesama
teman ataupun kekasihnya, bahkan lebai
(berlebihan), sekalipun itu tanda sayang. Ditahun 1989 sepertinya April MOP
juga dirayakan kampus beserta para pengelola. Rektorat mungkin punya maksud
baik -- yang bisa saja setingkat rasa sayang-- untuk membantu mahassiwa
meningkatkan kualitasnya, melihat dana SPP/DPP telah berulangkali terlambat
turun ke Universitas dan kurang mencukupi terhadap perkembangan, sehingga
merekapun menjahili mahasiswa agar orang tuanya
merogoh kocek lagi dengan dibentuknya POM.
Sekiranya begitu jika dihubung-hubungkan, sungguh jahil.
Ternyata
ini bukan April MOP sekalipun jika membacanya dibalik menjadi POM. Perbedaanya, yang pertama kejahilannya selesai dibulan itu
juga, sedangkan yang kedua masih berlangsung hingga kini. Lembaga ini berawal
di diruang 7 kampus Kalibakal, ketika
itu FISIP belum berdiri. Lalu Prodi AN dan Sosiologi bersama mahasiswa serta
para orang tua mendirikan lembaga ini, sebuah
lembaga yang Fenomenal sepanjang sejarah FISIP akibat masalah yang dibuatnya
tidak juga kunjung usai
hingga kini.
Pada mulanya
POM dikelola secara bergantian oleh mahasiswa dan bapendik. Nasikhin Masa yang
juga pendiri SOLIDARITAS saat itu menjabat sebagai ketua Senat Mahasiswa, ia
bersama teman-temannya mengusahakan agar POM dikelola oleh mahasiswa, tentu
karena sebelumnya memiliki prediksi jika lembaga ini riskan akan penyalah-gunaan
seandainya tidak dipegang oleh orang
yang tepat. Keberadaan mahasiswa ditahun 89-an diamini oleh pelaku sejarah
Fisip pak Bambang Widodo, bahwa pada masa itu mereka memiliki bargaining position yang kuat dikampus.
Ditahun itu POM hanya menarik Rp 12.000, atau jika sekarang paling
hanya berkisar Rp 100.000, sebuah gambaran yang meyakinkan bahwa ini
benar-benar bukan April MOP yang suka jahil sampai mengiris perih isi hati,
melainkan suara kasih-sayang orang tua untuk membantu putra-putrinya. Mekanisme
ini terjadi karena keberadaan mahasiswa mampu menekan nominal hingga titik
paling bawah sesuai kebutuhan, berbeda dengan yang sekarang terjadi. Sedangkan saat
ini mahasiswa samasekali tidak terlibat baik dalam pembuatan RAB yang diajukan
ke POM maupun pengelolaan. Bahkan untuk melihat LPJ dan RAB POM saja crew LPM Solidaritas, sebagai lembaga
pers kampus sangat dipersulit. Dan jadi hal yang cukup wajar jika ada ungkapan
“jika bersih, kenapa risih”.
Mahasiswa
mengelola POM bukan berarti tanpa kesulitan, terbenturnya jadwal kegiatan dan
proses perkuliahan menjadikan POM
tersendat-sendat. Ini terjadi di periode Senat mahasiswa dipimpin oleh Anang
Rahmadi, oleh karena itu Bapendik pun akhirnya mengambil alih POM.
Seperti dilahirkan untuk menjadi masalah, POM
ditangan Bapendikpun mengalami hal yang sama dialami oleh mahasiswa, hingga
akhirnya dikembalikan lagi kepada Senat Mahasiswa. Pengembalian ini dipegang
oleh Susilo, ketua Senat setelah Anang Rahmadi. Perjalanan ini diiyakan oleh Dosen
Komunikasi yang biasa dipanggil pak Dodit “pokoknya
dulu ya mas hakim, mahasiswa dan bapendik gantian terus”.
Pergantian
pengelolaan yang selalu silih berganti ini berlangsung hingga tahun 1993.
Selanjutnya, karena adanya perpindahan kampus dan kemudian Fisip berdiri secara
resmi, juga seiring dengan Alm. Prof.Soemardji menanggalkan jabatannya sebagai
kepala Prodi Sosiologi untuk menjadi Dekan pertama Fisip, POM
dipegang oleh Fakultas seutuhnya. Bukan berarti dikelola oleh Fakultas, namun
Fakultas mengkoordinir kembali sehingga diputuskan dikelola oleh Orang tua mahasiswa. Pada
saat itu Pak Suswoyo yang juga pernah menduduki kursi dekan di Fakultas
Pertanian menjabat sebagai ketua dan bendaharanya adalah pak Sukimin, pemilik
PO.Dewi Sri.
Apakah
kemudian lembaga perogoh kocek orangtua
ini berjalan lancar? Kehidupan POM selalu
diringi oleh kerancuan, baik mekanisme penarikan maupun implementasinya.
Ditangan pak Suswoyo dan pak Sukimin POM hanya berlangsung hanya sampai tahun
1996 dan selanjuntnya pada masa kepemimpinan Dekan Prof.R. Soejatno mengantikan
Prof.Soermadji yang wafat sebelum masa jabatan berkhir, lembaga persatuan orang
tua ini bubar, meki begitu Fisip tidak ikut bubar sekalipun POM telah tiada. Selain
itu, ini juga salah satu ekses dari
tetap kritisnya mahasiswa menyikapi dan masih terlibat dalam pembahasan POM walaupun tidak
lagi mengangani.
Dari 1996
hingga 2006 Fisip tetap hidup tanpa POM. Berdasarkan penuturan PD III periode
lalu, pada pertengahan tahun ajaran 2005-2006 atas perintah dari tinggat
Rektorat (bukan Fakultas) POM Fisip dihidupkan kembali, bermula dari AN yang
kemudian diputuskan agar semua jurusan ikut mendirikan. Lalu hasil keputusan
rapat pembentukan tersebut mengeluarkan tarikan dana di setiap jurusan sama rata, sebesar Rp
400.000.
Kemudian pada awal ajaran 2006-2007, penarikan
naik ditiap jurusan hingga ada yang membayar angka belasan juta. Tembus hingga
nominal yang sangat besar tersebut tidak lain akibat dari model penarikan
dilakukan dengan wawancara tertutup oleh panitia yang penerimaan di tiap
jurusan. “Dengan wawancara yang tertutup
itu, kita bisa lebih efektif menarik dana yang besar” ungkap pak Haryanto
selaku ketua POM Fisip.
Sejak 2005
inilah POM tidak lagi melibatkan mahasiswa, jangan heran jika penarikan yang
dajukan kepada para Orang
tua mahasiswa sampai mencekik leher. RAB yang dirancang terlihat elitis
ditingkatan Fakultas, yang sering kali mengatas namakan kebutuhan mahasiswa
dalam menarik uang orang tua mahasiswa, apalagi dengan suasana yang terkesan
mengancam. Bagaimana mungkin tidak terasa mengancam atau sukarela, sedangkan setiap
orang tua selalu ingin anaknya melanjutkan
jenjang pendidikannya, dan penawaran besaran POM
ditawarkan saat wawancara sebelum masuk ke Universitas.
Setelah crew
Solidaritas meng-cross ceck, ternyata
didalam LPJ POM yang sulit diakses tersebut, pada tahun 2006 dari dana yang
didapat sebesar Rp 961.074.375 dan digunakan untuk pembangunan gedung sejumlah
Rp 567.000.000. Dengan kata lain, sebagian besar digunakan untuk pembangunan
gedung. Terkait prioritas penggunaan POM pak Bambang Suswanto (PD III) juga
mengukapkan “POM memang selama ini
diprioritaskan untuk pembangunan gedung, tapi insya Allah kedepan akan kami
berikan pembagian 50-50”. Sedangkan dalam reportase crew Solidaritas,
terkait pembangunan gedung, mahasiswa sendiri menyatakan bahwa mereka belum
terlalu butuh.
Merujuk pada statement yang dikeluarkan Rektor Unsoed
kepada crew Solidaritas di Rektorat “Tanpa
POM sebenarnya cukup kalau dicukupin”. Artinya tidaklah terlalu besar
kebutuhan mahasiswa sesunguhnya, atau tanpa POM pun sebenarnya cukup untuk operasional.
Namun yang tercantum dalam LPJ tahun 2006 untuk operasional saja, dana yang
dikeruk dari POM mencapai 215juta rupiah, dan
tidak terijitkan secara jelas digunakan sebagai operasional yang seperti apa,
yang ada hanyalah keterangan tanggal keluar. Dan untuk sarana dan buku diluar
215juta hanya disediakan 20juta. Tentu ini menjadi sebuah pertanyaan besar, jika
tanpa POM saja cukup mengapa mengambil hingga
sebegitu banyaknya, apakah terlalu banyak operasional yang tidak terlalu
penting. Bukankah jika tanpa POM cukup. Mungkin
inilah salah satu logika mengapa mahasiswa sama sekali tidak dilibatkan.
Selanjutnya,
perihal LPJ POM 2007. Selaku bendahara POM Fisip, pak Soedarmadji menyatakan
bahwa LPJnya belum dibuat, beliau tidak menuturkan alasan yang jelas, padahal
kini sudah pada pertengahan tahun ajaran 2008-2009. Sungguh aneh, semoga saja
memang belum dibuat, bukan belum dimanipulasi. Namun
terkait prioritas penggunaan, beliau mengatakan bahwa prioritas masih pembangunan
gedung, yaitu sebesar 750juta rupiah digunakan untuk pembangunan gedung tiga
lantai pengganti ruang lima,
sehingga jika ditotal menghabiskan 1,3 milyard rupiah.
Kemudian melihat dana yang berlebihan besar
nominalnya dan dikeluarkan untuk pembangunan gedung yang belum begitu
dibutuhkan mahasiswa, seperti yang diungkapan Nisa, mahasiswa jurusan politik “kalau ternyata untuk pembangunan gedung yang
pastinya berbiaya besar, belum saatnya, belum butuh”. Dan juga dalam beberapa
reportase, sebagian besar mahasiswa merasa bahwa gedung baru belum saatnya
menjadi prioritas. Mungkin ini seperti sebuah pilihan buruk ditengah ekonomi
yang terpuruk, seperti memilih mencekik leher bapak-ibu dibanding hidup normal,
memilih membangun gedung baru dibanding memprioritaskan peningkatan kualitas
mahasiswa.
Selain itu, dalam kisaran waktu 2005 hingga
sekarang, POM masih tetap tidak jelas. Hal ini
tercermin dari lahirnya induk setelah
punya anak; dimana POM ditiap fakultas pada tahun 2005 hingga awal 2007
tidak berbadan hukum, kemudian berbadan hukum dengan menginduk pada POOM
(Persatuan Organisasi Orang tua Mahsiswa) yang berdiri pada pertengahan 2007.
Kerancuan ini diperparah lagi dengan selalu berubah-ubahnya metode wawancara
ditiap tahunnya, implementasi yang kurang transparan dan terlihat hanya menjadi
alat oleh Universitas untuk mengeruk uang dari para Orang tua mahasiswa.
Lembaga ini
tidak memiliki kekuatan dalam pembuatan kebijakan. Semisal; POM
tidak diikutkan dalam pembuatan RAB yang dikemudian akan ditagihkan kepada
anggotanya, selanjutnya ia juga tidak memegang uang yang mereka terima, sebab
semua uang masuk kerekening Rektor. Sehingga terkesan bahwa lembaga ini
hanyalah boneka pemeras uang dari Universitas.
“POM itu
dienyahna ndase, tapi dicekeli
buntute” ungkap ketua POM Fisip, menegaskan bahwa lembaga ini dalam sejak
2005, hanyalah bumper depan Universitas. Menjadi pemodal dan penyandang dana
terbesar, namun tidak memilki kekuatan dalam kebijakan, sekedar boneka. Begitupun
bendahara Universitas juga turut mengakui bahwa Universitas terlalu dimanjakan
oleh keberadaan POM.
POM saat ini
juga sebagai pemodal utama Unsoed menjadi BLU (badan Layanan Umum Pemerintah),
sebagaimana yang diunkapkan oleh pak Bondan anggota Tim BLU “POM
itu pemodal terbesar dalam proses menuju BLU”. Dengan makna lain, uang orang tua
mahasiswa yang terkumpul di rekening rektor merupakan alat vital bagi Unsoed
menuju bisnis pendidikan yang akan diselenggarakan oleh BLU, yang pada saatnya
akan mendirikan berbagai sarana seperti Sport Center,
Rumah sakit, dan lain-lain yang tentunya mebutuhkan dana sangat besar. Memang
mejadi sulit dibayangkan kesulitan orang
tua yang harus membiyai itu semua.
Besaran uang
yang meningkat tajam tiap periode juga ternyata tidak menjamin peningkatan
akademik sesuai prosentasenya. Dari sebelum tahun 2005 hingga POM
saat ini berbiaya belasan juta,
peningktan akademik yang tercantum dalam buku monitoring tidak seimbang, grafik
terlihat tidak setabil.
Begitulah
perjalan hidup POM sejak April 1989. Ketidak beresan penanganan, nominal yang
setinggi langit, diprioritaskan pada pembangunan gedung, mekanisme wawancara yang
tidak jelas, implementasi yang membingungkan, kurang transparan, pemodal utama
pembangunan, hanya menjadi alat universitas, mahasiswa tidak dilibatkan dan
berbagai kerancuang yang mungkin belum terungkap. Ini semua memastikan bahwa
POM dengan segala kejahilannya bukanlah sekedar permainan laiknya April MOP
yang seenaknya menjahili seseorang. Perlu dintidak secara serius, baik dari
kalangan mahasiswa, orang
tua maupun para pejabat ditingkat Fakultas dan Universitas. Inilah POM bukan April MOP.
Posting Komentar untuk "Bukan April MOP, inilah POM"