LIPUTAN KHUSUS: Kota Mendoan
Dari Redaksi
Berbagai julukan melekat
di kota Purwokerto, selain nama kota satria yang diagungkan oleh pemerintah. Ada kata
murah, nyaman, tenang, pelajar, bahkan pensiunan yang senantiasa disandingkan
dengan nama Purwokerto. Namun zaman terus berkembang. Tak berapa lama lagi,
wajah kota ini akan berubah. Akankah julukan itu masih terus menempel di ibukota
‘ngapak’ ini?
Sebuah Becak membawa penumpang melintasi jembatan di Jalan Bobosan Purwokerto, di pagi hari. |
Disadari atau tidak, Purwokerto kota kecil yang berada di
tengah Kabupaten Banyumas dan masuk dalam kultur Banyumas ini mempunyai keunikan
tersendiri. Sebuah kota yang kental akan Budaya Banyumasan dan sarat akan
pengaruh dari para pendatang menjadikan Purwokerto sebagai kota yang bernuansa
‘beda’.
Sudah banyak penelitian ilmiah yang menyimpulkan bila
masyarakat yang ada di wilayah bekas Karisidenan Banyumas mempunyai kultur yang
tidak masuk dalam Jawa ataupun Sunda – ini adalah kultur yang berbeda. Lalu identitas Budaya Banyumasan pun melekat pada setiap masyarakat yang berbicara ‘ngapak’.
Perbedaan Budaya Banyumas ini terbukti dari banyaknya
kesenian, adat istiadat, dan kebiasaan masyarakat Banyumas yang punya ciri khas sendiri. Contohnya seperti lengger lanang, kentongan, dan begalan. Jika Lengger adalah
penari lelaki yang merias diri menjadi seorang perempuan, simbol kesetaraan. Tradisi
begalan, mematahkan kebiasaan upacara Jawa yang harus memakai protokol baku
nan kaku saat menyampaikan amanat kepada kedua mempelai pengantin.
Ada sebuah istilah dalam falsafah hidup orang Banyumas.
Yakni Panginyongan sebuah konsep
hidup yang berisi cara berpikir orang Banyumas di tengah kehidupan sosial yang
heterogen. Ada dua sikap dasar falsafah panginyongan
ini. Pertama adalah sikap merendah tidak ngungkul-ungkuli (tidak
memandang diri sendiri lebih unggul dibanding orang lain). Dan yang kedua, adalah sikap jujur, mengakui kekurangan
dan kelebihan yang ada pada diri sendiri. Setiap orang harus jujur tidak melakukan kebohongan dan kamuflase untuk menutupi
kelemahan diri. Dari kedua sikap ini, Panginyongan
mengajarkan kepada setiap orang untuk lepas dari hidup yang sok dan
‘seolah-seolah’, seolah-olah hebat, seolah-olah menang, seolah-olah kaya,
seolah-olah yang paling berkuasa – panginyongan menolak sikap arogan pada sesama.
**
Pembaca yang budiman, membaca perkembangan Purwokerto yang
begitu pesat. Memang menjadi sebuah obrolan seru nan menarik. Baik dari para
anggota DPR, mahasiswa, hingga para guru di TK. Semuanya ikut berkomentar
mengenai nasib kota di kaki gunung slamet ini ke depan.
Begitu pun dengan kami, para wartawan kampus yang kebanyakan bukan orang Banyumas. Kami tertarik dengan wacana perkembangan Purwokerto yang beberapa tahun ke depan akan dijadikan kota otonom memisahkan diri dari Kabupaten Banyumas.
Setiap hari hanya berkutat di dalam tembok universitas,
membuat kami buta soal Banyumas dan Purwokerto di awal tematik. Kami pun
berdiskusi dengan banyak sejarawan, budayawan, tokoh masyarakat, hingga pejabat
demi memperoleh data tentang Banyumas - dari berbagai sudut
pandang. Hampir setiap hari kami mendiskusikan materi secara kronologis sejak
era Kamandaka hingga sekarang. Selama dua minggu lebih kami melancong
berkeliling menyusuri Kabupaten Banyumas untuk mewancarai narasumber. Berbagai
buku sejarah, perpustakaan, sumber internet, penelitian, dokumentasi
pemerintahan, dan arsip berita kami pelajari satu persatu. Hingga akhirnya kami
terpaksa menuju Kota Yogyakarta dengan harapan mendapatkan banyak sumber
referensi yang akurat.
Di dapur redaksi banyak hal yang kami perdebatkan, dari
mulai penentuan narasumber, keabsahan informasi hingga mitos-mitos yang
berkembang di masyarakat. Memang banyak informasi simpang siur yang kami
temukan. Seperti awal mula lahirnya begalan, ada dua sumber yang sama kuat dan
sama masuk akal. Namun Kami berusaha sebisa mungkin tetap berpegang pada metode
ilmiah untuk mengolah dan mendapatakan informasi yang akurat.
Ada beberapan laporan yang terpaksa kami hapus karena pertimbangan keabsahannya. Salah satunya laporan favorit kami, yakni studi antropologi makanan mendoan dan getuk. Yang menjelaskan pengaruh dan awal mula masuknya mendoan dan getuk di Banyumas. Banyak yang tak bisa kami sajikan mengenai keunikan kabupaten di kaki Gunung Slamet ini. Karena keterbatasan ruang tentunya.
Terkadang kekaguman akan nilai historis dan budaya ini,
membuat kami lupa akan tujuan sebenarnya dari liputan khusus ini. Kami sadar ada
banyak kekuarangan dalam peliputan ini. Tetapi dari proses yang lama ini, kami percaya
bila Purwokerto sebenar-benarnya adalah masyarakat Banyumas yang unik dan berbeda. Meski kini banyak
masyarakat kota yang sudah lupa. Dan ada beberapa yang terang-terangan mengatakan malu bertutur
dengan Bahasa Banyumas.
Namun untungnya masih ada cerita tentang orang-orang yang tetap bangga dengan budaya daerahnya. Mereka benar-benar ada dan belum kalah, tak peduli dunia sudah berubah, zaman sudah berganti. Mereka berganti penampilan tanpa mengacuhkan nilai-nilai luhur. Mereka tidak meninggalkan, cuma menyesuaikan perkembangan zaman. Mereka tetap eksis dengan caranya sendiri. Mereka layak kita hargai.
Namun untungnya masih ada cerita tentang orang-orang yang tetap bangga dengan budaya daerahnya. Mereka benar-benar ada dan belum kalah, tak peduli dunia sudah berubah, zaman sudah berganti. Mereka berganti penampilan tanpa mengacuhkan nilai-nilai luhur. Mereka tidak meninggalkan, cuma menyesuaikan perkembangan zaman. Mereka tetap eksis dengan caranya sendiri. Mereka layak kita hargai.
Berbicara mengenai Purwokerto, tak bisa lepas dari mendoan. Teringat sebuah filosofi sederhana dari obrolan warung tenda di pinggiran Terminal Ajibarang,
tentang mendoan. Memasak mendoan memang mudah, tinggal goreng sebentar lalu
selesai. Tapi sebenarnya kita harus teliti dan hati-hati, racikan bumbu yang
berlebih membikin tampilan mendoan berantakan.
Memasaknya pun harus pas, tidak boleh terlalu cepat dan tidak boleh terlalu lama menerima panas minyak. Bila terlalu cepat mendoan itu akan membuat kita sakit perut. Bila terlalu banyak mendapatkan panas, mendoan akan berubah menjadi tempe. Lalu, Bagaimana dengan Purwokerto? Akankah ia menjadi mendoan, atau membiarkan panasnya terus-menerus menggerogoti kotakan kedelai itu hingga ia berubah menjadi sebuah tempe? Selamat Membaca! **
Index
Memasaknya pun harus pas, tidak boleh terlalu cepat dan tidak boleh terlalu lama menerima panas minyak. Bila terlalu cepat mendoan itu akan membuat kita sakit perut. Bila terlalu banyak mendapatkan panas, mendoan akan berubah menjadi tempe. Lalu, Bagaimana dengan Purwokerto? Akankah ia menjadi mendoan, atau membiarkan panasnya terus-menerus menggerogoti kotakan kedelai itu hingga ia berubah menjadi sebuah tempe? Selamat Membaca! **
Index
1. Ini Kotaku Mana Kotamu
2. Rampok Di Tengah Resepsi Pernikahan
3. Sebelum Mendoan Menjadi Tempe
4. Wawancara Khusus: Itu Cuma Asal-asalan
Selanjutnya Ini Kotaku, Mana Kotamu
Posting Komentar untuk "LIPUTAN KHUSUS: Kota Mendoan"