LIPUTAN KHUSUS
Oleh: Alexander Agus Santosa
Bahagia
itu sederhana, di kota kami, bisa ditemukan di angkringan-angkringan pinggir
jalan, warung-warung makan, meja-meja di emperan pasar, bahkan dapur-dapur
banyak rumah (Pungky
Prayitno, Tak Perlu Ke Mall Untuk Bahagia)
Nia Kurnia terus memantau situasi di sekitar, pandangan terpaku pada lalu lalang pengendaraan motor jalan raya, ia memeriksa pengendara roda dua itu satu-satu. Berkali-kali kepalanya celingukan memastikan situasi sekitar café yang ramai oleh remaja usia belasan. Dua bangku kosong yang berdiri persis dihadapannya membikin Nia sedikit grogi dan kurang pede. Untuk kesekian kalinya ia mengintip jam di ponselnya yang sudah menunjukan pukul empat lebih lima belas menit. Ia mencoba menangkan pikiran dengan menyeruput minuman seharga kurang dari sepuluh ribu itu, sambil melemparkan tatapan kosong ke empat orang siswa berseragam SMA yang sedang asyik mengobrol di meja seberang.
Hampir setiap hari Nia dan
teman-temannya pergi keluar rumah buat sekedar nongkrong dan jalan-jalan, tempatnya
pun beragam bisa kafe, kedai kopi, rumah makan, atau angkringan di pinggir
jalan. Itu sudah menjadi semacam ritual sehari-hari kata Nia. “Maklumlah mas
namanya anak muda heheee,” kata Nia sambil tertawa.
angkringan pinggir jalan |
Pengalaman semacam ini pun turut
dirasakan oleh Nadia Nurfadma. Gadis yang setiap harinya mesti bolak-balik
keliling kota karena tuntutan pekerjaan ini, selalu menyempatkan waktunya
setiap minggu untuk sekedar mampir ke Purwokerto. Seperti remaja pada umumnya,
gadis berkerudung ini pun sering nongkrong bersama kerabatnya baik café ataupun
angkringan. “Purwokerto itu tenang, ngangenin, suasananya sama orang-orangnya
juga selow, gak pernah bosen main ke Purwokerto,” kata gadis berusia 26 tahun
ini.
Selain kecintaannya pada mendoan Purwokerto
yang citarasanya tidak ditemukan di daerah lain. Nadia pun jatuh cinta pada
bahasa banyumasan, gadis berkulit putih ini mengaku tak pernah risih berbicara
bahasa banyumas secara blak-blakan di depan teman-temennya. Budaya blak-blakan
atau orang mengetahuinya dengan istilah cablaka, dimata Nadia mengandung keistimewaan
tersendiri. “Mau pendatang, mau orang asli banyumas. Kalau udah ngumpul ya
ngomonge bebas. Dalam arti guyonan yang nggak kaku, tertawa yang lepas tapi setelah
itu nggak menyimpan dendam,” ujar karyawati salah satu bank swasta ini.
Prof. Sugeng Priyadi |
Istilah dopokan pun muncul saat mereka
sudah berkumpul dan saling berbicara satu sama lain. “Uniknya itu ada sifat cablaka,
mereka berbicara apa adanya saat makan bersama. Lahirlah budaya dopokan,” kata
Sugeng.
Ia juga menjelaskan pengaruh geografis terhadap
kebiasaan masyarakat Banyumas untuk makan di luar rumah. Kondisi di kaki gunung
dan curah hujan yang tinggi berpengaruh pada kebiasaan masyarakat Banyumas main
ke luar rumah. Malam hingga pagi hari masyarakat Banyumas lebih memilih diam di
rumah karena cuaca di Banyumas yang sedang dingin-dinginnya. Siang hari turun
hujan mereka tidak bisa keluar rumah. Satu-satunya waktu yang tersisa hanya
pagi hari, yang mereka gunakan untuk beraktivitas seperti ke sawah dan pasar. “Akhirnya
mereka lebih banyak di rumah, sekalipun keluar hanya sebentar dan tidak jauh
dari rumah,” katanya. Makan diluar banyak dilakukan hanya sebentar saja yakni
pada sore sampai menjelang malam hari, tidak sampai larut malam.
“Jadi kalau siang itu mereka diam di
rumah, kalau malam keluar sebentar lalu pulang lagi,” katanya. Sugeng juga
mengatakan bila esensinya masyarakat Banyumas tidak mengenal budaya kuliner
seperti Jogja atau Solo, yang setiap hari pergi keluar rumah mencicipi makanan.
Tujuan utama pergi ke tempat makan yakni berkumpul dengan teman-teman, makanan
digunakan sebagai pelengkap saja. “Jadi sebenarnya mereka ya tidak mencari
makanan ataupun tempat. Yang mereka cari adalah teman,” kata Sugeng.
Sanggar Mandala |
Angga Giri Yoliandika, salah satu
mahasiswa Fakultas Ekonomi Unsoed juga mengutarakan pendapatnya perihal frasa
betah tinggal di Purwokerto. Remaja berusia 19 tahun ini menuturkan dirinya
jarang nongkrong di café-café Purwokerto. Ia lebih suka berkunjung ke
tempat-tempat wisata di sekitaran Banyumas. Sebut saja Curug Gede, Baturraden, dan
Telaga Sunyi. Sudah berkali-kali ia mondar-mandir di tempat itu. “Ya buat
refresing paling bagus di tempat wisata, di Banyumas alamnya bagus-bagus,” kata
mahasiswa asal Cilacap ini.
Berdasarkan pengamatan Cahunsoed.com, banyak café-café dan
tempat makan bertebaran di setiap sudut kota Purwokerto. Data dari Persatuan
Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Cabang Purwokerto, menyebutkan sedikitnya
terdapat 150-an café tersebar di Puwokerto. Harganya pun beragam dari yang
paling murah sampai yang paling mahal. Beberapa café buka hingga dini hari.
Pengunjung café sendiri masih didominasi oleh remaja usia 16-25 tahun. Selain
café dan rumah makan, sektor pariwasita banyak diminati oleh masyarakat, baik
wisatawan lokal maupun nonlokal. Dalam data yang diperoleh dari Badan Pusat
Statistik (BPS) Kabupaten Banyumas, pada tahun 2013 tercatat ada 14 tempat obyek
wisata tersebar di Babupaten Banyumas, yang setiap harinya dikunjungi oleh 638
orang.
Sebelum
Nasi Menjadi Bubur
Kondisi Perkembangan Purwokerto ini
terhitung tercepat se-Indonesia. Pada Survei Perubahan Biaya Hidup Tertinggi yang
dilakukan 5 tahun sekali oleh BPS pada 2012 lalu. Purwokerto menduduki peringkat
pertama dalam Perubahan Biaya Hidup Tertinggi di Indonesia. Lima tahun
sebelumnya pada tahun 2007 Nilai Konsumsi Rumah Tangga di Purwokerto baru
berkisar Rp2.082.585/bulan, di tahun 2012 meningkat tajam menjadi sebesar
Rp4.089.009/bulan dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 96,35%.
Mengalahkan Banjarmasin, Semarang dan Bandung yang menempati posisi 2,4, dan 7.
Dua Orang anak melakukan sholat Asar di Depan Kantor Karisidenan Banyumas |
Dua orang anak SD sedang menunggu kedua orang tuanya, di samping
kelasnya yang beraristektur belanda. Di Banyumas, beberapa sekolah
menggunakan bekas gedung kolonial sebagai bangunan sekolah mereka.
|
Menanggapi wacana pembangunan di Purwokerto,
Anton, pemilik sebuah Angkringan di Jalan Jenderal Soedirman Purwokerto,
mengatakan bila ia tidak bisa berbuat banyak, ia hanya bisa mengikuti peraturan
pemerintah. “Saya disini kan, buat warga Purwokerto juga, mereka senang dan
membutuhkan saya disini,” kata bapak dua anak ini. Saat ditanyai soal
tanggapan pembangunan mall di tempatnya berjualan, ia mengaku pasrah bila
wacana itu benar terjadi, Anton hanya berharap supaya pemerintah agak sedikit
memikirkan nasibnya pasca pembangunan itu dilakukan. “Mau gimana lagi ya mas,
Purwokerto sekarang udah beda. Kalau nanti tidak ada tempat ya sulit mas,
dimana-mana nanti dilarang. Bisa-bisa angkringan saya tidak jualan lagi,”
katanya tersenyum kecil tanda mengakhiri wawancara kepada Cahunsoed.com, sambil menghampiri seorang pelanggan yang sejak tadi
menunggu.
Meski ia telah menunggu sendirian dua
puluh menit yang lalu tak tampak sedikitpun sikap gusar dan grogi yang terlihat
di wajahnya. Dengan caranya sendiri ia terus menikmati lalu lalang lalu lintas
kendaraan malam, cahaya sorotan lampu jalanan dan sayup-sayup suara orang di atas
lesehan. Dari wajahnya terlihat jelas gambaran kecil. Sebuah frase yang biasa kita
dengar. Bahagia itu sederhana. **
Selanjutnya Rampok Ditengah Resepsi Pernikahan
Posting Komentar untuk "LIPUTAN KHUSUS"